bagian 1

844 48 5
                                    

Di tengah syahdunya rintikan hujan. Raya, gadis berkepang satu itu masih saja setia duduk di emperan balkon kamarnya. Tatapannya kosong, tak lagi ceria seperti dulu. Manik hitamnya kembali memandang langit. Kini, tak ada lagi langit biru dalam hidupnya, yang ada hanya langit gelap. Langit gelap yang akan terus membawa badai di setiap jalan hidupnya.

Gadis dengan mata bulat itu kembali terisak. Tangan kecilnya kembali memukul dadanya, berharap rasa sesak yang merayap akan hilang begitu saja. "Aku rindu kamu, Sa. Aku rindu," gumamnya lirih.

Ayahnya bilang, bahwa hidup itu akan lebih berwarna jika ada cinta. Akan tetapi, bagaimana jika cintanya sudah pergi? Akankah hidupnya juga bisa menjadi lebih berwarna?

"Astaghfirullah, Raya!"

Gani terkejut melihat kondisi putrinya. Bagaimana bisa putri kesayangannya ini malah berdiam diri, sementara hujan sudah membuatnya basah kuyup.

"Di luar hujan, Raya. Kok kamu malah diam aja di teras? Kalau kamu sakit gimana, nak?" omel Gani langsung membawa putri semata wayangnya itu masuk ke dalam rumah.

Dengan telaten, pria paruh baya berpostur tinggi itu mengeringkan rambut putrinya menggunakan handuk. Raut khawatir tercetak jelas pada wajah tampan yang sudah tertutupi kerutan wajar pada usianya.

Gani memberikan secangkir teh hangat pada putrinya, kemudian menyalakan hairdryer mengeringkan rambut lepek putrinya.

Raya tersenyum tipis melihat perlakuan Gani. Ayahnya ini selalu saja memberikan perhatian berlebihan padanya. Padahal, rambutnya basah karena belum lama mandi tadi, tapi sudah di kambing hitamkan terkena hujan.

"Kalau mau ngegalau yang elite dikit, nak, tempatnya. Masa di teras balkon yang isinya cuma tanaman."

Ayahnya terlalu cerewet seperti seorang ibu. Meski begitu, dia tidak pernah mempermasalahkannya. Bagi Raya, Gani adalah ayah terbaik di dunia. Sebab, Gani lah yang telah merawat dan membesarkannya layak seorang ibu dan ayah selama enam tahun terakhir.

"Tadi kamu kenapa melamun gitu? Lagi mikirin Karsa, ya?"

Raya tertawa. Tanpa dia beritahu pun, sang ayah sudah tahu apa yang ada di pikirannya. Manik legamnya menatap wajah khawatir milik Gani.

"Kalau ayah udah tau. Kenapa nanya lagi ke Raya?"

Gani menanggapi dengan senyuman. Kemudian, dia memakaikan selimut motif bunga pada Raya dan duduk di samping putrinya itu.

"Kamu kangen ya sama Karsa?"

"Banget, yah. Tapi kan ayah tau sendiri, kalau sekarang Karsa udah ga bareng kita lagi. Karsa udah pergi jauh banget dari jangkauan, Raya," tutur Raya sambil menyenderkan kepalanya di bahu sang ayah.

"Kematian itu takdir yang gabisa diubah, nak." Gani mengusap lembut surai putrinya. "Se cinta apapun kamu sama Karsa, kalau memang takdir Karsa adalah kematian, kamu ga bisa apa-apa," jelas Gani.

Raya terdiam. Benar kata ayahnya, bahwa kematian adalah takdir yang tidak pernah bisa dirinya ubah. Namun, tetap saja, haruskah kisah cintanya dan Karsa berakhir seperti ini? Bahkan dia saja tidak bisa mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada, Karsa.

Dari lubuk hati terdalam, Raya masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Karsa. Padahal, laki-laki itu sudah pergi meninggalkannya sejak satu tahun silam. Raya masih terlalu cinta kepada Karsa. Baginya, melupakan Karsa adalah hal yang paling tidak mungkin dilakukan olehnya.

Melihat reaksi sang anak, Gani perlahan membawa putrinya itu ke dalam dekapannya. "Kalau mau nangis-nangis aja, nak. Ayah tau betul betapa sulitnya melepas orang yang kita cintai," ujarnya sambil mengecup puncak kepala putrinya.

Hujan di Tanah Jogja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang