12

419 13 0
                                    

* * *

"Sudah selesai makannya?"

Ananya mengangguk. "Sudah," jawabnya singkat.

Yash berdiri. Tangannya terangkat supaya bisa mengambil piring yang tergeletak di depan Ananya dan membawanya ke tempat pencucian piring.

"Biar aku saja yang mencucinya, Tuan," tangkas Ananya ketika sudah turun dari kursinya.

Tak menggubris, Yash malah melancarkan rutinitas mencuci piringnya hingga kini sudah tersusun di tempat lemari piring.

Kaki Yash kini melangkah mendekati lemari es. Dia membuka pintu benda itu hingga terdapat beberapa daging segar yang dia tenteng.

"Ini biar aku pisahkan saja. Biar kau tidak mual."

Ananya yang mencium aroma tak sedap dari barang itu langsung menutup hidungnya dengan mengapitkan kedua jari.

Ananya yang sejak tadi mematung melihat pria di depannya itu sedang mencuci piring berlalu menatap Yash. Pria itu nampak mengambil jas yang sempat diletakkan pada gantungan baju.

"Aku akan pergi bekerja. Nanti akan ada Ira yang akan menemanimu disini."

Tangan Yash bergerak memakai jas itu. Merapikan pakaiannya dan kini sudah rapi dengan tangan yang dia masukan ke kantung celananya.

"Kau tidak perlu masak. Ira akan memasak apapun yang kau pinta. Risfha juga akan berjaga di sini. Menjagamu dua puluh empat jam nonstop."

Ananya masih bergeming dengan posisinya yang sama. Berjaga dua puluh empat jam? Bukankah itu sudah kelewatan batas? Dia bisa menjaga dirinya dengan baik karena dirinya bukan anak kecil lagi yang harus selalu diawasi.

"Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri, Tuan," bantah Ananya.

"Ini bukan tentang dirimu saja, tapi tentang anak yang ada dikandungamu itu."

Ananya membeku. Tak bicara apa-apa. Benar kata Yash. Pasti dia sangat mengkhawatirkan anaknya yang ada di rahim Ananya, bukan Ananya-nya, mungkin.

Wanita itu mematung. Kini ruangan tampak sepi. Kesepian mulai datang menghampiri. Dilihatnya seisi ruangan yang luas. Kini niatnya jatuh kepada televisi. Ya, dia berjalan ke ruangan tengah berpikir sekiranya bisa mengisi waktu luangnya.

Tangannya bergerak menekan tombol di remote mencari-cari chanel yang akan dia tonton, tapi tak apa siaran kesukaannya. Mata Ananya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9.45.

Biasanya jam segitu dia akan merancang beberapa macam bahan untuk dijahit lalu diperjualbelikan, tapi tak dengan kali ini. Dia malah terduduk tanpa melakukan apa-apa. Sungguh sangat membosankan.

Tak lama bel berbunyi. Ananya dengan bergegas mendekati pintu apartemen itu. Namun, sebelum membuka pintu dia terlebih dulu melihat ke lubang benda itu. Takut jika ada orang jahat. Memang pikirannya selalu negatif beberapa minggu ini hingga membuatnya kadang risih oleh pikirannya sendiri. 

Di lubang itu menunjukkan seorang wanita membawa tas jinjing besar yang seperti berisikan baju. Ananya berpikir sejenak sebelum membuka pintu.

"Apa dia orang yang dibilang oleh Tuan Yash?" tanyanya pada diri sendiri.

Sudah berpikir agak lama, akhirnya dia membukakan pintu hingga terlihat dengan jelas wajah perempuan. Gayanya memberi tanda bahwa dia adalah orang kampung.

"Apa Anda adalah Nyonya Ananya Reyuna Alfando?"

Wanita itu bertanya dengan raut wajah bingung. Ananya tertegun. Apa katanya? Nyonya Ananya Reyuna Alfando? Sangat asing bagi Ananya, tapi dia harus menerimanya. Memang benar jikalau mereka sudah menikah.

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang