25

259 13 1
                                    

"Memangnya ibu Gabby ke mana?"

Gabby tersenyum dan berkata, "Kata Ayah, ibu Gabby ada di surga."

Ananya tertegun. Apa maksudnya atas ucapan Gabby. Apakah ibunya Gabby telah meninggal? Sangat malang sekali, pantas anak kecil itu ingin sekali memeluknya.

"Apakah Bibi Ananya ingin melihat ibuku?"

Saat pernyataan itu dilontarkan Gabby, pandangan Ananya kini malah beralih pada Lucky yang tersenyum kecut. Seolah bertanya, Lucky menjawab dengan sebuah anggukan singkat.

"Boleh. Memangnya di mana?"

"Di gereja ujung sana," tunjuk Gabby menggunakan jari telunjuk.

Gabby melihat ayahnya--Lucky dengan senyuman. Kini tangannya beralih memegang tangan kiri Lucky dengan sesekali menggoyangkan.

"Ayah, kita mau ketemu ibu 'kan?"

Lucky memegang wajah lugu Gabby dengan senyuman tipis. "Tentu. Kita kan sudah berjanji," ujarnya.

"Ya, sudah. Ayo!"

Lucky menatap Ananya. "Oh, iya, Ananya. Apakah kau masih ingat dengan sahabatmu itu?" tanyanya.

"Sahabatku?" Ananya mengerutkan dahinya bingung.

"Iya, kejadian yang tempo lalu."

Ananya berpikir sejenak dengan dahi yang berkerut. Kejadian tempo lalu? Berarti sudah cukup lama terjadi. Akan tetapi, apa? Siapa yang meninggal? 

Namun, sedetik kemudian dia baru mengingat akan Rena--sahabatnya. Sontak dia memicingkan mata menatap Lucky bingung seolah bertanya.

"Apakah maksudmu adalah Rena?"

"Iya. Fotonya dipanjang di sana."

Ananya menepuk jidatnya pelan. "Astaga. Aku hampir lupa."

Dia menghela napas panjang. Sejenak lupa akan itu, untung saja ada Lucky yang mengingatkannya.

Memang kemarin dia sempat ingin melaksanakan permintaan terakhir mendiang Rena. Namun, Ananya tidak ingat karena masalah hidupnya kian datang silih berganti.

Gabby menarik tangan Lucky. Tentu pria itu berdiri dengan diikuti Ananya yang juga ikut berdiri. Wanita yang paruh baya itu masih setia dengan posisi berdiri di samping kursi.

"Nek Tina boleh pulang duluan. Aku akan bersama Gabby," ucap Lucky dengan dijawab anggukan oleh wanita paruh baya yang tak lain adalah pengasuh Gabby.

"Nenek pergi dulu, ya, Nona Gabby."

Gabby berkata, "Iya, Nek. Nanti Gabby pulang sama Ayah. Nanti Nenek masak kesukaan Gabby 'kan?"

"Tentu."

Wanita paruh baya yang disebut sebagai Nenek Tina membungkuk guna mempermudah untuk mencubit hidung Gabby dengan diikuti oleh senyuman.

"Kalau begitu aku pulang, Tuan, Nyonya," ujar Nenek Tina yang kini sudah berdiri sejajar dengan Lucky dan Ananya.

"Bye, Nenek," ujar Gabby sembari memberikan lambaian tangan ke arah Nenek Tina yang kian menjauh.

Kini mata Gabby menatap Lucky yang masih berdiri di belakang tubuhnya. "Ayo, Ayah. Kenapa diam saja?"

Terlihat Gabby sudah bosan berdiri di sana. Bermaksud menunggu Lucky, ternyata Lucky malah menunggunya balik.

"Oke, Tuan Putri," kekeh Lucky yang diikuti oleh Ananya.

Ananya berjongkok di hadapan Gabby. "Bagaimana jika kita membelikan ibumu dan sahabatku bunga? Pasti mereka senang," sarannya.

Gabby mengangguk dengan semangat empat lima sembari berkata, "Ah, apa yang Bibi katakan ada benarnya. Ibuku suka sekali bunga mawar merah."

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang