* * *
Matahari sudah bersinar terang. Sebuah leguhan tak terasa keluar dari mulut Ananya. Kini kondisi tubuhnya sudah sedikit membaik walau pikirannya masih bertumpuk dan bercabang-cabang bagai pohon jati.
Perlahan dia bangun dari tidurnya. Matanya sesekali mengerjap. Meneliti seisi ruangan yang sunyi. Tak ada siapa-siapa. Dia menduduki bokongnya. Cahaya memancar dari gorden kamar rumah sakit itu.
Pelan-pelan dia turun dari atas kasur menuju balkon kamar dengan tergopoh-gopoh membawa infus. Di atas sini Ananya bisa melihat para pengendara kini sudah berlalu lalang untuk berangkat beraktivitas. Namun, tak jarang pula ada beberapa orang yang mulai mengatur jualannya untuk diperjualbelikan.
Pikirannya kembali bersarang pertanyaan. Bagaimana keadaan Rena? Apa sahabatnya itu khawatir? Entahlah, sejak kemarin dia tak melihat tanda-tanda kabar dari Rena sedangkan bendanya saja tidak tahu berada dimana.
"Selamat pagi." Samar-samar didengar oleh Ananya akan suara itu yang berasal dari luar kamarnya.
"Permisi, Bu," ucap seorang perawat yang masuk sehingga membuat lamunan Ananya pecah.
Ananya berbalik melihat wanita muda di hadapannya yang sedang tersenyum kepadanya. Sudut mata Ananya melihat bahwa wanita itu membawa nampan yang berisikan makanan dan obat-obatan.
"Bu Ananya, sudah bangun?" tanya perawat itu sambil berjalan mendekati nakas dan menaruh benda yang dibawanya itu tepat di atas nakas tersebut.
Ananya mengangguk. Tak segan-segan dia memberi senyum ramah sebagai bentuk kesopanan dalam dirinya.
"Silakan sarapan, Bu. Setelah itu obatnya diminum."
Setelah mengucapkan itu si perawat pun pergi meninggalkan Ananya yang masih berdiri di tempatnya.
Perlahan kakinya melangkah mendekati nampan itu. Perutnya sejak kemarin tidak diisi apa-apa. Kejadian itu membuatnya tak selera, tapi beda hari ini.
Dia menyuapkan beberapa sendok makanan ke mulutnya. Akan tetapi, tiba-tiba perutnya merasa mual dan ingin muntah. Sesegera mungkin dia mendekati wc dan memuntahkan menu sarapan yang baru saja dimakannya tadi di wastafel.
Namun, entah sejak kapan datangnya. Terlihat seorang wanita paruh baya berdiri di sampingnya. Tanpa diminta oleh Ananya, dia memijit pelan tengkuk Ananya.
Ananya mengusap mulutnya. Ditatapnya wanita di hadapannya sekarang dengan penuh selidik. Orang yang dilihat hanya tersenyum ke arahnya.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanyanya sembari menuntun Ananya keluar dari wc.
Ananya hanya menurut sembari berkata, "sudah sedikit membaik. Mohon maaf, Ibu siapa?"
"Saya Dira, ibu dari Yash."
Ya, dia adalah Dira. Saat mengetahui bahwa Ananya mengandung anak Yash dia dengan segera datang ke negara itu. Keinginannya untuk mempunyai cucu tak memandang darimana Ananya berasal.
Beda dengan Ananya. Dia terkejut kala mendapati jawaban dari wanita paruh baya di hadapannya.
"Apakah kamu mau menikah dengan anak saya demi cucuku itu?" tanyanya yang tak kalah membuat Ananya ternganga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly
AléatoireKisah ini berawal pada kejadian yang tak akan Ananya lupakan. Niatnya menolong orang berakhir pada pemerkosaan dan pengambilan mahkota berharganya. Bukannya mendapat pertanggungjawaban dari si pemerkosa, dia malah dituduh yang tidak-tidak. Belum la...