29

647 11 2
                                    

* * *

"Jadi, kau berniat untuk pergi ke China?" tanya Fando.

"Iya, Pa. Ini menyangkut bisnisku."

Dira tersenyum ke arah Ananya. "Kau pergilah, masalah Ananya biar kami yang menjaganya."

Ananya tersenyum. Dia memegang tangan Dira sambil berkata, "Terima kasih, ya, Ma."

"Tidak usah berterima kasih, kau adalah menantuku sekaligus putriku, Ananya."

"Benar kata Mama," sahut Fando menyetujui ucapan istrinya.

Ananya kini beralih menatap Fando. "Jadi, Ananya tidak masalah berada di sini?"

"Tentu tidak masalah," jawab Fando.

"Jika seperti itu aku langsung pergi saja. Semakin cepat pergi, maka semakin cepat pulangnya," imbuh Yash yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.

Ananya mengadahkan kepalanya. Memasang raut wajah khawatir dan sedih. "Apakah harus secepat ini?" tanyanya.

Yash melirik wajah Ananya. Dia mengerti akan perasaan Ananya. Apalagi perlakuan Yuna yang sepertinya tidak menyukai Ananya membuat dia sedikit enggan meninggalkan wanita itu, tapi bagaimana lagi? Dia pergi juga demi masa depan keluarga kecilnya nanti.

Kembali Yash menduduki bokongnya di sebelah Ananya dan memegang tangan wanita itu dengan lembut.

"Iya. Jika aku pulang, aku berjanji akan membawamu kembali ke India secepatnya."

Yash menempelkan tangan pada perut Ananya yang semakin membuncit karena usia kandungan yang sudah masuk enam bulan.

"Kau harus berjanji untuk menunggu ayahmu pulang," ujar Yash.

Ananya mengangguk dengan sebuah tangisan kecil. Bagaimanapun juga Yash adalah suaminya. Ayah dari anak yang dia kandung.

"Aku akan pergi, Ananya. Kau jagalah anakku," pesan Yash dan berlalu pergi dari sana.

Sebelum Yash pergi, dia terlebih dahulu memberi salam kepada Dira dan Fando, selaku orang tuanya.

Sepeninggalan Yash, Ananya disuruh beristirahat oleh Dira dan Fando ke kamar yang memang sudah disiapkan sebelum kedatangannya.

Di kamar Ananya tak henti-hentinya menangis. Tidak tahu mengapa dia merasa takut untuk tinggal di kediaman keluarga Yash. Nalurinya berbicara bahwa akan ada sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi.

Akan tetapi, dia bersikap lebih tegar dan membuang pikiran negatif itu. Hari dan demi hari telah berlalu dan Yash belum juga kembali. Namun, walau Yash belum kembali, tapi pria itu selalu menghubungi Ananya.

Sama halnya hari ini, terlihat Ananya sedang vediocall bersama Yash. Tak jauh dari sana, ternyata seseorang telah memperhatikannya.

"Bagaimana hari ini?" tanya Yash di seberang sana.

"Sangat menyenangkan, aku selalu bersama ibu dan adikmu, Yuna. Ternyata Yuna baik terhadapku, tidak seperti terakhir kali," beritahu Ananya dengan sebuah senyuman.

Saat Ananya sedang asyik berbincang, tiba-tiba seseorang menghampirinya. Dia adalah Yuna yang sudah rapi dengan pakaiannya.

"Kak, apakah rencana kita itu jadi?"

Yuna tampak tersenyum. Terbukti akan keramahan yang dia lontarkan pada Ananya. Sekilas mata melirik pada layar handphone wanita itu, tapi Yuna bertindak biasa saja seolah tak menyadari apa-apa.

"Jadi, tunggu sebentar."

Ananya berdiri. Semangat di dirinya mampu membuat panggilan itu terputus sepihak karena tak sengaja terpencet tombol merah.

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang