01 || Nggak Mau Nyesel, Tapi...

161 11 47
                                    

Wisnu memandangi sebuah undangan di atas meja belajarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wisnu memandangi sebuah undangan di atas meja belajarnya. Pikirannya tidak hadir di sana, tetapi berkelana jauh ke masa sebelum ia sampai pada titik ini. Kurang lebih empat tahun lalu, penolakan itu ia dapatkan dari kedua orang tua yang tidak merestui pilihan jurusannya. Tidak berbeda dari kebanyakan orang tua yang tidak merestui pilihan jurusan anaknya, pertanyaan pertama dan utama yang diajukan adalah, "Mau kerja apa?"

Saat itu, Wisnu hanya bisa menjawab, "Banyak. Jadi penerjemah bisa, jadi editor bisa, macem-macem."

"Ya, ampun, Wisnu. Sayang banget kamu susah-susah belajar di jurusan IPA tapi cuma mau jadi penerjemah. Kamu itu bisa jadi dokter, bisa masuk jurusan teknik juga. Guru-gurumu juga menyayangkan pilihan kamu ini, Nak. Nilai kamu teh bagus-bagus," ujar ibu Wisnu sambil mengerutkan dahi.

Meski ingin, Wisnu tidak sampai hati untuk menulis pilihan jurusan Kedokteran ke dalam data peminatan jurusan yang diminta sekolah. Bukan karena ia tidak suka, ia hanya tidak tega jika harus membuat orang tuanya bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan biaya kuliah kedokteran. Tidak pernah mudah dan tidak pernah murah.

"Uang bisa dicari, Wisnu. Ini soal masa depan kamu!" Bapaknya turut membesarkan api penolakan di ruang keluarga berukuran 3 x 4 meter itu. "Bapak sama Ibu ini cuma honorer, cuma ingin lihat anak satu-satunya kami bisa lebih sukses."

Hati Wisnu nyelekit, tetapi ia tetap menggeleng. "Wisnu suka belajar bahasa, Pak. Tolong, Pak, Bu, percaya sama Wisnu. Jurusan sastra linguistik ini banyak lowongannya. Kalo ngomongin gaji, bisa kok dapet belasan sampai puluhan juta tergantung dari skill dan proyek yang nanti dikerjain. Bisa juga kok kerja di kedutaan besar. Bapak sama Ibu mau liat Wisnu jadi diplomat? Bisa juga," terangnya dengan sok percaya diri.

Bapak Wisnu mendengkus kasar. "Terserah kamu, lah. Pokoknya, lulus kuliah kamu cari uang sendiri. Bapak sama Ibu udah nabung dan mungkin cuma bisa memenuhi kewajiban biayain kamu sampai lulus aja. Kalo kamu milih jurusan yang lebih menjanjikan, pasti cari kerjanya gampang. Tapi, terserah kamu. Kalo mau tetap milih jurusan bahasa itu, ya sudah. Kamu tanggung jawab sama dirimu sendiri habis lulus. Oke?"

Dengan naifnya, Wisnu mengiyakan perjanjian itu. Perjanjian yang saat ini sedikit banyak disesali setelah ia melangkah sejauh ini.

Siapa sangka hidup di Jakarta semuanya jadi mudah?

Walaupun biaya hidup mirip dengan di Bogor, tetapi kehidupan di Jakarta ternyata lebih mahal dari perkiraannya. Mencari tempat tinggal yang murah pun tidak mudah bagi Wisnu. Ia beruntung bisa mendapatkan indekos seharga 700 ribu dengan fasilitas yang lebih dari cukup untuk kebutuhannya selama berkuliah di Jakarta. Setidaknya, uang bulanan dari orang tua masih ada yang bisa ia sisihkan untuk ditabung dengan menghemat pengeluaran untuk makan. Di tambah lagi, prestasi akademiknya berhasil membuatnya mendapatkan beasiswa beberapa kali sehingga kebiasaan menabung itu tetap terpenuhi.

Sejak selesai yudisium, Wisnu sudah mencoba melihat daftar lowongan kerja di tempat-tempat yang cukup bergengsi—kata kakak tingkatnya. Namun, syarat yang dibutuhkan tidaklah mudah. Entah itu pengalaman kerja satu tahun, dua tahun, bahkan ada yang harus lima tahun. Fresh graduate sepertinya bisa apa kalau belum punya pengalaman?

Bunga IlalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang