Mulai dari ketiduran di kamar Naka, mendengarkan curhatan manusia yang habis tumbang itu, sampai azan magrib berkumandang, belum juga Wisnu mendapatkan kabar dari Raka. Memang, sih, temannya itu tidak bilang akan datang ke kos di jam berapa. Hanya saja, Wisnu tidak tenang jika harus menunggu tanpa kepastian. Ia sudah menetapkan pilihan. Kalau Raka tidak kunjung datang dan membuatnya tanda tangan kontrak saat itu juga, bisa-bisa ego Wisnu kembali meninggi dan berubah pikiran.
Setelah menyiapkan makan malam dan memastikan Naka minum obat lagi, Wisnu pamit ke kamarnya. Ia mengetuk-ngetuk ponsel menunggu balasan dari Raka. Terakhir, ia mengirim pesan pada temannya untuk mengabari kalau sudah dalam perjalanan. Pesan itu terkirim di jam 12 siang dan belum ada tanda-tanda akan dibalas-Wisnu mematikan centang biru sehingga tidak tahu apakah pesannya sudah dibaca atau belum. Sebenarnya, ia bisa memastikan dengan mengirim pesan lagi atau menelepon Raka. Hanya saja, gengsinya membuat lelaki berkaus putih itu mengurungkan niat. Ia tidak mau terlihat memburu-buru, terlebih sebelumnya menolak dengan keras tawaran untuk kerja di bimbingan belajar.
Bosan menunggu, Wisnu pun mulai menyalakan laptop dan menjelajah internet. Ia mencari segala referensi tentang kurikulum pendidikan SMP sampai SMA, khususnya untuk pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kuliah di jurusan sastra bukan berarti memberinya kemudahan dalam menjadi seorang pengajar. Menjadi pengajar untuk remaja memiliki tantangannya sendiri. Kalau tantangan saat cari kerja di kantor adalah soal kesesuaian CV, keterampilan, dan saingan dengan orang dalam, tantangan menjadi pengajar siswa-siswi di usia remaja adalah kreativitas dalam mengajar materi-materi yang dianggap remeh oleh mereka.
Wisnu tidak pernah menganggap pelajaran bahasa sebagai pelajaran remeh dan mudah. Justru baginya, pelajaran bahasa apa pun, termasuk Bahasa Indonesia, lebih rumit dibandingkan pelajaran MIPA yang penuh dengan logika kepastian atau IPS yang bisa diakali dengan bacotan. Hanya saja, ia mulai menyadari bahwa dirinya adalah satu dari dua puluh sembilan yang berpikir demikian saat menyadari kalau tidak ada teman-temannya yang belajar sekeras itu untuk ulangan bahasa. Mungkin karena itu juga banyak orang yang meremehkan jurusan pilihannya di saat ia termasuk siswa yang memiliki nilai memuaskan dalam bidang MIPA.
Keputusan Wisnu untuk menerima tawaran menjadi pengajar bahasa di bimbingan belajar milik Raka hadir sesaat setelah muncul pikiran, "Gue harus bikin anak-anak paham kalau pelajaran bahasa sangat penting dan bisa jadi salah satu cara membuka masa depan yang cerah supaya nggak ada yang ngeremehin lagi!"-di samping karena ia tersadar kalau perlu segera mengisi kembali tabungannya saat melihat Naka tumbang.
Menyajikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan menjadi PR bagi Wisnu yang tidak suka basa-basi dan sok asyik. Selama berkuliah pun, ia tidak pernah memikirkan cara supaya teman-temannya fokus dan memerhatikan dirinya saat presentasi di depan kelas. Toh, teman-temannya sudah pasti paham. Pun kalau tidak paham, itu urusan mereka masing-masing. Berbeda dengan mengajar anak sekolah. Ia punya tanggung jawab lebih untuk membuat mereka paham, terlebih dengan tujuannya untuk memunculkan rasa butuh dan penting terhadap pelajaran bahasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Ilalang
General FictionPembuktian. Satu kata yang menjadi tujuan utama Wisnu setelah 4 tahun berjuang di jurusan pilihannya, tetapi selalu ditentang oleh orang tua. Sayangnya, tidak semudah itu wahai, Wisnu Ajisaka. Jatuh, bangun, guling-guling, dan kerasnya hidup di pera...