Wisnu sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih, dasi hitam, dan jas hitam—yang ia pinjam dari Bang Ilham—meski waktu belum menunjukkan pukul 07.00. Padahal, biasanya ini adalah jam-jam rawan dirinya baru terlelap setelah begadang semalaman. Namun, selepas menerima 4 surat elektronik dari bagian rekrutmen 4 perusahaan berbeda, ia langsung menyiapkan diri dengan tidur lebih awal dan menolak ajakan ngopi dari Naka.
Lelaki berpipi sedikit gembil ini sangat tidak menyangka bahwa akan ada informasi dari 4 perusahaan sekaligus terkait pemanggilan wawancara. Hanya saja, dari 4 panggilan yang masuk, Wisnu harus melepas separuhnya karena jadwal wawancara yang bentrok dan bersamaan. Pertimbangan yang ia ambil mudah saja. Siapa yang mengirim surel panggilan lebih dulu, itulah yang ia prioritaskan. Lagi pula, Wisnu sudah lupa perusahaan dan jenis pekerjaan mana saja yang ia apply selama beberapa minggu terakhir. Jadi, ia hanya meninjau ulang perusahaan yang akan menjadi tempatnya sepik-sepik formalitas alias wawancara.
Sambil mengunci pintu kamar, Wisnu meregangkan otot-otot wajahnya. Ia berusaha melatih senyum yang selama ini jarang ia tampakkan karena terlalu sibuk mengurung diri di kamar dan tidur. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri dan mengambil sedikit waktu lagi untuk meregangkan badan di depan pintu kos.
"Maaf, mas-nya cari siapa, ya?"
Wisnu tersenyum sebelum membalikkan badan. "Dek Uci, udah mau berangkat?"
Perempuan dengan make-up natural di depan Wisnu menganga dan matanya terbuka lebar. "Mas Wisnu? Wah. Uci kira mas-mas sales atau penagih utang. Rapi bener!"
"Bisa-bisanya dikira sales. Ganteng nggak?"
Uci bersedekap dan memperhatikan Wisnu dari ujung kaki sampai ujung kepala, lalu menggeleng. "Dibilangin, kayak mas-mas sales. Mana bawa ransel gitu."
Wisnu menepuk jidatnya. "Dek Uci, mas-mas sales itu pakai celana item, baju putih, dan ranselnya isi barang-barang jualan. Ini tas isinya berkas penting. Beda jauh dong sales sama Mas Wisnu."
"Lah, itu," Uci menunjuk celana dan kemeja Wisnu, "celana item, baju putih, tas ransel yang Uci nggak tau isinya apa. Bedanya nambah dasi sama jas aja."
"Terserah, lah." Wisnu sedikit cemberut dan berbalik.
"Ehe, jangan ngambek, lah, Mas. Ganteng, kok, ganteng. Mau ke mana? Ke KUA? Lamaran?"
"Iya."
"Hah?! Serius?" Uci membalikkan badan dan menarik napas panjang sebelum akhirnya berteriak, "Woi, Anak Kosan! Mas Wisnu mau la—"
Wisnu langsung membekap mulut Uci. "Lamar kerja. Diem-diem aja tapi."
"He-na-pah?" Uci berusaha berbicara dengan mulut yang masih ditutupi Wisnu.
"Ntar, ramenya kalo Mas udah diterima kerja aja. Sekarang diem-diem saja, ya. Rahasia."
Uci mengangguk-angguk dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan jempol kanannya. Wisnu pun melepas tangan yang menutupi mulut adik kosnya itu, lalu berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Ilalang
General FictionPembuktian. Satu kata yang menjadi tujuan utama Wisnu setelah 4 tahun berjuang di jurusan pilihannya, tetapi selalu ditentang oleh orang tua. Sayangnya, tidak semudah itu wahai, Wisnu Ajisaka. Jatuh, bangun, guling-guling, dan kerasnya hidup di pera...