Pertemuan dengan Icha kemarin membuat Wisnu semakin banyak berpikir. Jujur, ia sangat tertarik dengan pekerjaan yang ditawarkan perempuan spesial dalam hatinya, yaitu sebagai proofreader dan alih bahasa program-program yang akan tayang di stasiun TV tempat Icha bekerja. Hanya saja, ia tidak ingin pekerjaan itu didapat dengan nepotisme. Sangat tipis perbedaan antara mendapatkan privilese hingga menjadikannya lahan nepotisme.
"Nu, ngapain?" Suara khas Naka terdengar di depan pintu.
Wisnu yang terbiasa malas menjawab langsung membuka pintu agar manusia di depan pintu kamarnya itu bisa langsung menyampaikan kebutuhannya.
"Lagi ngapain lo?" Naka mengulang pertanyaannya saat pintu kamar Wisnu terbuka.
"Mikir."
"Hidup lo isinya mikir mulu, ya. Kapan geraknya?"
"Gue udah gerak. Udah ngajar juga kemaren."
"Hari ini ada jadwal?"
"Ada," Wisnu melirik jam di meja, "Sejam lagi gue berangkat. Kenapa?"
"Nanya aja."
Wisnu mendelik. Ia tidak percaya kalau Naka hanya ingin tahu jadwal kegiatannya hari ini. Namun, lelaki berkaus hitam lengan panjang itu mengalihkan pandangan dan masuk ke kamar Wisnu.
"Lo mikirin apa?"
Wisnu tidak bisa memaksa Naka bicara kalau ia sendiri tidak mau membicarakan apa yang sedang dipikirkan. "Kemaren gue ketemu Icha."
"Woah, mikirin cewek ternyata!"
"Bisa nggak lo nggak ambil kesimpulan sepihak?"
"Lah, itu buktinya lo mikirin Icha, kan?"
"Mikirin gue nerima tawaran kerjanya atau enggak. Bukan Icha-nya yang gue pikirin."
Naka membelalak. "Lo dapet tawaran kerja lagi? Gila. Emang ya, satu pintu kebuka bisa ngebuka pintu-pintu yang lain yang nggak terduga. Ditawarin kerja apa?"
"Proofreader naskah acara tv sebelum tayang."
"Terus kerjaan lo di bimbel gimana? Baru juga kemaren mulai ngajar."
Wisnu pun menceritakan pertemuannya kemarin dengan Raka dan Icha, termasuk soal kegalauannya tentang nepotisme yang mungkin terjadi. Apalagi, Icha mengatakan bahwa ia tidak perlu menyetorkan sertifikasi bahasa hanya karena Icha mengetahui kemampuannya.
"Ya kali gue nggak ngasih berkas sertifikasi bahasa. Bukannya itu syarat utama, ya?" Wisnu mengakhiri ceritanya.
Naka bergumam. "Bisa jadi iya, bisa jadi enggak. Tergantung. Mungkin emang mereka close-recruitment yang nggak memerlukan berkas itu, tapi cuma pakai rekomendasi aja?"
"Bisa jadi, sih. Tapi bukan nepotisme, kan, ya?"
"Heh, nepotisme itu kalo lo direkrut cuma karena relasi dan keuntungan pribadi. Kalo lo direkrut karena kemampuan lo, ya beda dong. Lo tetep disuruh ikut tes dulu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Ilalang
General FictionPembuktian. Satu kata yang menjadi tujuan utama Wisnu setelah 4 tahun berjuang di jurusan pilihannya, tetapi selalu ditentang oleh orang tua. Sayangnya, tidak semudah itu wahai, Wisnu Ajisaka. Jatuh, bangun, guling-guling, dan kerasnya hidup di pera...