Niat hati ingin tidur nyenyak sehabis minum bir pletok buatan Bu Endang, ternyata kopi hitam yang menemani Wisnu berbaikan dengan Naka menjadi salah satu faktor yang menyulitkan tidurnya. Faktor lainnya, pikiran lelaki berpipi agak tembam ini dipenuhi oleh hitung-hitungan uang yang rumit setelah mendengar masalah yang dialami oleh teman-rasa-sahabatnya, Naka.
"Makasih," ujar Naka setelah keduanya berdamai semalam.
"Buat?"
"Jadi sohib gue."
"Emang gue nganggep lo sohib?"
Naka berdecak. "Anah, jadi bukan?"
Wisnu hanya bisa tersenyum dan menepuk-nepuk pundak lelaki yang rambutnya dikucir itu sebelum masuk ke kamarnya. "Dah, istirahat. Lo pasti capek, kan, hari ini. Jangan banyak mikir dulu. Tidur yang bener biar besok bisa kerja lagi."
Setelah menutup pintu kamar, Wisnu menyandarkan punggungnya di pintu sambil mendesah kasar. Ia bingung harus bagaimana menjelaskannya pada Naka—dan orang lain yang melabel mereka dengan sebutan sahabat.
Bagi Wisnu, kata sahabat pernah menjadi satu kata yang sangat ia sukai sejak kecil. Sahabat artinya mereka yang akan selalu ada dalam setiap situasi yang dialami oleh masing-masing. Sahabat artinya mereka yang akan selalu mendukung dan mungkin mengkritisi dengan cara yang baik tanpa menjelekkan satu sama lain. Namun, nilai dari kata sahabat itu sendiri musnah setelah hal yang menimpanya saat duduk di bangku SMP. Sejak saat itu, ia tidak lagi mau melabel siapa pun sebagai sahabatnya karena ketakutan atas kenyataan yang tak ingin terulang.
Sebenarnya, hati Wisnu terenyuh saat orang-orang, bahkan Naka sendiri, melihatnya sebagai sosok sahabat. Hubungan yang istimewa, beyond friendship. Hanya saja, berat bagi lisannya untuk mengucap dan mengakui itu semua tersebab ketakutan yang masih terus membayanginya.
Terlepas dari itu, tak dipungkiri bahwa Wisnu memiliki satu laci tersendiri dalam pikirannya yang ia khususkan untuk Naka dan penghuni kos yang memang sudah seperti keluarganya sendiri—pada akhirnya semua terasa lebih dari sekadar sahabat. Setelah menenangkan diri, dia sempat membuka lemarinya dan mengecek tiga celengan yang ia simpan di dalamnya.
Celengan ayam untuk dana darurat.
Celengan beruang untuk tabungan masa depan.
Celengan babi khusus untuk membantu Naka.Awalnya, celengan babi itu tidak ada dalam jajaran celengan di lemari. Hanya saja, cerita demi cerita yang ia dapat dari Naka, pun wajah melas kawan pertama di kos Bu Endang itu saat kesulitan bayar uang kos, membuatnya memutuskan untuk membeli satu celengan lagi. Kebetulan, yang tersisa di penjual celengan saat itu hanyalah yang berbentuk babi. Lucu. Seperti Naka kalau sedang cemberut atau memelas saat pinjam uang.
Wisnu jadi terbiasa membagi-bagi uang kiriman orang tuanya untuk biaya hidup dan menabung. Kadang, ia malah terlalu sering memasukkan uang ke celengan babi dibandingkan celengan lainnya karena dirasa lebih urgent.
"Lo kenapa nggak buka rekening baru aja, sih, di bank? Lebih aman dibanding celengan gitu?" ujar Naka suatu hari saat melihat Wisnu mencungkil celengan ayam untuk pertama kalinya karena butuh uang lebih untuk menyelesaikan tugas kuliah.
"Males ngisi form. Ribet."
Jawaban Wisnu saat itu hanya mendapat gelengan dari Naka. Untungnya, Naka tidak tahu apa saja fungsi dari tiga celengan yang Wisnu miliki—khususnya celengan babi yang lebih menjadi prioritas Wisnu sejak semakin dekat dengan Naka.
Hingga akhirnya, saat Wisnu bisa mendapat beasiswa untuk mahasiswa berprestasi dari kampus, ia pun bisa dengan lebih adil mengisi tiga celengannya itu. Tentu saja ditambah dengan kerja sebagai asisten dosen, asisten penelitian, dan per-asisten-an lain di kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Ilalang
Aktuelle LiteraturPembuktian. Satu kata yang menjadi tujuan utama Wisnu setelah 4 tahun berjuang di jurusan pilihannya, tetapi selalu ditentang oleh orang tua. Sayangnya, tidak semudah itu wahai, Wisnu Ajisaka. Jatuh, bangun, guling-guling, dan kerasnya hidup di pera...