07 || Dilema Ribet

30 7 11
                                    

Wisnu terbangun karena telinganya mulai mendapatkan kesensitifannya kembali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wisnu terbangun karena telinganya mulai mendapatkan kesensitifannya kembali. Suara langkah banyak orang yang berlalu-lalang, suara obrolan, bahkan beberapa teriakan ia dengar. Perlahan kedua matanya terbuka bersamaan dengan dahi yang mengerut.

"Ah!" Wisnu merasakan sakit di leher dan tangan yang ternyata ia gunakan untuk menopang kepala yang miring di atas meja.

Lelaki berbaju putih ini mulai memutar otaknya sembari mengumpulkan sisa-sisa kesadaran. Walaupun lehernya sakit dan kepalanya masih sedikit pusing, matanya sudah bisa diajak berdamai untuk terbuka lebar tanpa menimbulkan denyutan di kepala yang menyakitkan. Pertanyaan dalam benaknya sedang berputar pada tanya, Gue di mana? Gue ngapain? Kok gue bisa di sini? Ini apa? Itu siapa?

Saat Wisnu bangkit dan melihat ruangan yang lebih dalam, ia mengerjapkan mata dan menemukan sosok yang dikenalnya. Ah, benar. Ia ada di tempat bimbingan belajar yang akan dibuka oleh teman semasa ospek dulu, Raka. Seingatnya, terakhir kali dirinya menolak untuk terlibat dalam agenda per-syuting-an yang akan dilakukan Raka siang itu. Berarti, seharusnya ia bisa langsung pergi saja tanpa pamit, 'kan? Hanya saja, Wisnu kebingungan ketika ia tidak menemukan motornya terparkir di depan tempat bimbingan belajar itu. Bagaimana bisa ia tidak bawa motor?

Wisnu pun merogoh saku celananya dan membuka ponsel. Pupil lelaki itu membesar otomatis saat melihat 8 panggilan tak terjawab dan 20 pesan dari satu orang yang sama. Baru saja ia akan membalas pesan menumpuk itu, si pengirim pesan meneleponnya lagi.

"Woy! Lo masih idup, kan?"

"Gue baru bangun."

"Hah? Tidur di mana lo? Kolong jembatan?"

Wisnu sedikit menjauhkan ponsel dari telinga setelah mendengar teriakan dari Naka. "Nyantai dikit napa. Gue mau balik, nih. Lo beneran bisa nyamperin?"

"Anah, gue baru nerima pesenan orang ini. Lo ... setengah jam lagi, gimana?"

"Gue sendiri aja kalo gitu. Bahaya lama-lama di sini."

"Kenapa emang, Bro?"

"Wisnu!" Suara seseorang di belakang Wisnu sukses membuatnya hampir terlonjak.

"Ntar gue kabarin. Gue tutup dulu." Wisnu menutup telepon dari Naka dan berbalik. "Oi, Ka. Gue balik nggak apa-apa, kan?" tanyanya to the point.

Raka yang berjarak lima langkah dari Wisnu melipat kedua lengannya di depan dada. "Apa-apa, dong! Kan, lo udah oke mau ikut syuting hari ini dulu."

Gue bilang gitu? batin Wisnu bingung. Ia sama sekali tidak mengingat menjanjikan hal ini. Apa kesadarannya sudah menipis ketika perjanjian itu dibuat? Bagaimana jika...

"Mungkin lo nggak inget jelas, tapi tadi kita udah deal kalau lo ikut syuting hari ini dulu dan gue ngebebasin lo buat beneran jadi pengajar tetap atau engga. Lo udah oke juga kalo sometimes gue undang buat jadi pengajar tamu. Lagian bimbel ini nggak langsung buka. Sebulan lagi baru gue buka. Artinya, lo masih punya sebulan buat mikir."

Bunga IlalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang