03 || Garis Tepi

57 10 28
                                    

Ucapan selamat dan kehangatan yang diberikan oleh penghuni kos kepada Wisnu sukses membuat air matanya tidak bisa ditahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ucapan selamat dan kehangatan yang diberikan oleh penghuni kos kepada Wisnu sukses membuat air matanya tidak bisa ditahan. Beberapa ujung telunjuk Wisnu mengusap pelan pelupuk matanya agar air mata tidak lantas meleleh ke pipi. Bukannya apa, ia masih punya rasa sungkan untuk memperlihatkan kelemahannya pada penghuni kos. Terlebih lagi, sebagai salah satu dari tiga orang penghuni tertua di kos, ia ingin menampakkan diri sebagai sosok abang yang bisa diandalkan.

Meskipun demikian, Wisnu merasa dirinya belum sepantas itu untuk mendapat sebutan abang yang bisa diandalkan. Masih ada Bang Ilham dan Naka yang sepertinya lebih bisa diandalkan karena keduanya pekerja keras dan, ya ... memang bisa diandalkan. Buktinya, ia selalu melihat Naka mengantar jemput anak kos, utamanya Audi. Kalau Bang Ilham, melihatnya pergi pagi pulang malam saja sudah cukup memberi gambaran betapa laki-laki itu sangat pekerja keras dan bisa diandalkan.

Melihat Naka yang hanya berdiri sendiri dan memandangi Wisnu bersama anak-anak kos membuat Wisnu semakin yakin. Tanpa Naka, sepertinya Wisnu hanya akan menjadi sekadar penghuni kos yang datang dan pergi, numpang, tanpa dikenal siapa-siapa. Tanpa disadari, memori pertemuannya dengan Naka untuk pertama kali terlintas dalam benaknya.

Saat itu, Wisnu baru selesai pindahan dan beres-beres kamar. Usai salat asar, ia berencana membeli perlengkapan yang kurang untuk tugas ospek jurusan. Namun, siapa sangka ketika Wisnu mau keluar, ia hampir terpeleset oleh penggaris mika yang panjangnya 50 sentimeter karena sibuk melihat daftar belanjaan di ponselnya.

"Ini penggaris kenapa bisa di sini, deh?" gumam Wisnu dengan suara kecil. Ia bermaksud mengambil penggaris itu untuk diletakkan di tempat yang tidak membahayakan orang lain, tetapi ada suara yang membentaknya.

"Jangan diambil! Biarin di situ. Jangan gerak!"

Wisnu baru menyadari ada seorang laki-laki berambut lurus menggunakan bando berwarna kuning sedang menunduk dalam sambil menggambar garis di kertas ukuran A1 dengan penggaris besi. "Saya mau keluar. Lagian ini ruang tamu bukan punya Anda sendiri."

"Anah!" Laki-laki itu menegakkan punggungnya. "Sana keluar, tapi jangan injek atau geser apa pun yang ada di sini."

Wisnu menggaruk tengkuknya. Serasa berjalan di atas tanah berisi bom nuklir, ia melompati beberapa bentuk penggaris, jangka, dan entah ada alat tulis apa lagi di sana selain pensil 3B. Ia tidak peduli, yang penting ia harus segera beli perlengkapan ospek lain dan mengerjakan esai-esai yang diminta dari tugas ospek.

Motor Wisnu yang masih dalam proses pengiriman ke Jakarta belum sampai sehingga dirinya harus rela menghabiskan waktu yang lama di jalan daripada belanja perlengkapan ospek. Awalnya, ia ingin menjemput motornya dan mengendarai langsung dari Bogor ke Jakarta. Toh, tidak terlalu jauh. Hanya saja, ia menyerah jika ibunya sudah bersabda.

"Kamu boleh nggak nurut soal jurusan. Terserah. Ibu, sih, yang penting kamu kuliah. Ya, walaupun Ibu sama kayak Bapak, masih pengen kamu nyoba lagi tes tahun depan untuk ambil jurusan Teknik. Tapi, ya udahlah. Makanya, untuk yang ini, kamu nurut. Jangan ngendarain motor sendirian ke Jakarta," ujar ibunya saat Wisnu mencoba membujuk.

Bunga IlalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang