12 || Hujan Di Luar, Hujan Di Hati

20 3 3
                                    

Jantung Wisnu terus berdegup cepat secepat laju motor Naka yang menerjang gang-gang sempit menuju jalan besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jantung Wisnu terus berdegup cepat secepat laju motor Naka yang menerjang gang-gang sempit menuju jalan besar. Suara gelegar di langit yang mendung seperti adu kencang dengan debar jantung dua lelaki yang sama-sama masih diliputi kepanikan. Keduanya tidak berbicara hingga mereka tiba di jalanan besar Jakarta kota. Naka mulai melambatkan laju motornya dan menghela napas lega.

"Sumpah! Untung lo bisa keluar!" teriak Naka agar suaranya menembus angin dan suara laju kendaraan jalanan.

"Kaget gue habis lo teriak gitu di telepon. Kenapa, sih? Sebahaya itu?" Wisnu menimpali dengan mendekatkan kepalanya ke pundak Naka.

"Gue tadi nungguin lo di pangkalan habis narik dari pagi. Ceritalah gue ke abang-abang ojek lain. Mereka ternyata pernah juga dapet penumpang kayak lo ini." Naka menjeda beberapa saat untuk menarik napas supaya bisa agak berteriak lagi. "Katanya, pilihan lo cuma dua. Ikut wawancara dengan bayar sejumlah uang. Atau lo nggak bisa keluar dari gedung itu sama sekali."

"Lah, penumpang itu bisa pergi gimana ceritanya?"

"Dia bayar!"

"Berapa?"

"20 juta."

Mata Wisnu membelalak. "Itu duit semua?"

"Ya, iya, lah. Lo kira daun?"

"Dia bisa bayar?"

Naka berbelok ke pom bensin terdekat dan mengantre untuk isi bensin sebelum menjawab pertanyaan Wisnu. Kali ini, ia bisa bicara dengan suara normal. "Nah, liciknya, mereka buka pinjaman buat orang-orang yang mau wawancara itu. Bunganya lo tau berapa?"

"Berapa?"

"Lima persen per bulan!"

"Astagfirullah." Respons Wisnu ini disambut oleh gelegar lain di langit. Bau petrikor semakin tercium jelas di bumi.

"Berhubung gue tau kita sama-sama lagi kere, paniklah gue kalo lo sampe ketipu kayak gitu. Gila aja kalo sebulan lo kudu nyicil bayar utang. Yang ada, lo cuma bisa bayar bunganya aja. Itu juga belum tentu, sih. Kan, kere."

"Bangsat. Terus dia akhirnya kerja?"

"Nggak tau. Nggak ada kelanjutannya soalnya abang ojek kenalan gue itu juga cuma tau cerita awalannya." Naka mendorong motornya saat antrean mulai maju sedikit demi sedikit. "Eh, tolong bayarin dulu, Nu."

Wisnu sudah siap dengan uang berwarna biru. "Nggak usah lo bilang juga gue yang bayar. Makasih udah nyamperin."

Bukannya senang, Naka malah bergidik geli mendengar ucapan terima kasih dari Wisnu. Tentu saja Wisnu tidak membiarkan Naka tenang karena tangannya langsung melayang ke punggung Naka dan memunculkan suara Plak! yang cukup keras.

Keduanya baru melaju beberapa meter dari pom bensin, tiba-tiba hujan mengguyur seantero penjuru Jakarta. Tidak ada permisi dengan rintik-rintik kecil lebih dulu, tetapi hujan langsung datang mengeroyok dengan derasnya. Seperti biasa, pengemudi motor menjadi orang pertama yang akan basah kuyup karena berada di depan. Meskipun demikian, hujan deras yang tiba-tiba itu juga langsung membuat tas punggung dan celana Wisnu, yang membonceng, langsung basah.

Bunga IlalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang