Sudah beberapa kali Wisnu menguap. Meski kedua matanya terus menerus berair, ia tetap menyibukkan lensa matanya untuk menangkap tulisan-tulisan dalam buku yang ada di atas meja. Jemarinya memijit-mijit pangkal hidung, dekat mata, dengan harapan rasa kantuk dan pusing yang mulai datang segera hilang. Dua puluh menit lagi ia harus masuk kelas dan mengajar sesi pertama kelasnya hari ini.
"Kopi, Nu?"
Raka, pemilik suara yang dikenal Wisnu itu duduk di hadapannya. Wisnu menutup buku yang sedari tadi dibaca dan tersenyum tipis. "Gue belum sarapan. Takut sakit perut kalo ngopi sekarang."
"Kayaknya lo lemes banget hari ini. Sakit?"
Wisnu menggeleng. "Habis bantuin Naka nggambar semaleman. Pagi ini dia seminar proposal buat skripsinya."
"Oh! Naka temen kosan lo itu. Gue kira udah lulus kuliah. Terus itu pipi lo aman?"
"Pipi gue kenapa?"
"Kayak orang sakit gigi."
Wisnu tertawa. "Aman. Gue merem bentar, ya. Tolong bangunin 10 menit lagi."
Setelah mendapat anggukan dari Raka, Wisnu pun memejamkan matanya sejenak dan meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja, berharap bisa tidur barang sebentar saja. Namun, ia tahu bahwa pikirannya terus menerus berisik. Terlebih kata-kata Bapak yang terus terngiang di telinga, diiringi suara berdenging pasca pipinya kena tampar.
Dahi Wisnu berkerut. Ia tetap kesulitan menenangkan pikiran yang semakin tidak keruan itu. Alhasil, dengan posisi yang tidak berubah, ia pun membuka mata dan menghela napas panjang.
"Heh, belum ada tiga menit."
"Pikiran sama kuping gue berasa berisik banget," lirih Wisnu samar-samar.
"Hah? Nggak denger." Raka memajukan tubuhnya. "Eh buset, lo jangan bangun tiba-tiba gitu napa. Hampir aja dagu gue kena."
Wisnu mengedipkan matanya beberapa kali. "Sorry."
"Lo beneran nggak apa-apa?"
Wisnu terdiam. Meski ia sebenarnya ingin menceritakan semuanya—tentang pertengkarannya dengan bapaknya, tentang tamparan itu, dan tentang keputusannya mengajar di bimbingan belajar—ia tidak bisa. Salah satunya karena ia merasa tidak enak dengan Raka yang sudah dengan baik hati menerimanya bekerja di bimbingan belajar ini. Kalau bukan karena temannya itu, mungkin ia akan lebih merasa tidak berguna karena tidak memiliki pemasukan sama sekali dan Bapak tentu akan semakin malu dengan dirinya. Maka, ia hanya mengangguk pelan, mencoba mengakhiri percakapan itu. "Makasih, Ka. Tapi nggak apa-apa. Gue kecapekan aja. Mending langsung masuk kelas, deh. Gue ke kelas, ya. Sekalian nyiapin materi."
Tanpa menatap Raka, lelaki yang pipinya sedikit bengkak karena tamparan bapaknya itu bergegas mengambil tas, presensi siswa, dan masuk kelas.
Usai membuka laptop dan mengecek ulang materi belajar hari ini, Wisnu kembali melamun, menanggapi segala tanya yang muncul, dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia lakukan ke depannya. Wisnu memejamkan mata sejenak, dan kembali melihat kejadian kemarin sore. Dadanya kembali sesak, pipinya kembali terasa panas. Berulang kali ia mencoba meredakan rasa sesak di dadanya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan, tetapi tidak kunjung berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Ilalang
Genel KurguPembuktian. Satu kata yang menjadi tujuan utama Wisnu setelah 4 tahun berjuang di jurusan pilihannya, tetapi selalu ditentang oleh orang tua. Sayangnya, tidak semudah itu wahai, Wisnu Ajisaka. Jatuh, bangun, guling-guling, dan kerasnya hidup di pera...