Jisung

2.6K 171 3
                                    

Derap langkah kaki samar-samar terdengar meski telah diredam karpet merah gelap yang melapisi lantai koridor hotel bintang empat, para tamu yang berjumlah empat orang itu dipandu oleh dua pelayan handal menuju pintu khusus di ujung koridor. Begitu kedua pintu tebal dibuka, ruangan besar menyambut mereka dengan nyala lampu yang nyaman di pandang mata. Kedua pelayan tadi mengatur para tamunya untuk duduk di kursi masing-masing, lalu pergi meninggalkan ruangan yang kini terasa sedikit sunyi dan dilingkupi perasaan canggung nan asing.

Kepala Keluarga Wirasastra duduk dan mengulurkan tangannya kepada sang lawan bicara, "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Pak Brata. Bagaimana kabar Anda?" Ini jelas pertemuan yang formal.

"Puji Tuhan kami baik-baik saja dan dalam keadaan sehat, semoga Keluarga Wirasastra pun baik dan sehat semua."

Melihat sang Ayah tersenyum, Jeno merasakan perasaan yang cukup baik. Kedua pria paruh baya itu berbincang ringan, sementara istri mereka saling menyapa ala kadarnya. Begitu makanan disajikan, suasana menjadi lebih hidup. Keluarga Pak Brata yang terdiri dari kakek, nenek, dua anak yang salah satunya adalah Pak Brata sendiri dan para istri, diikuti oleh dua cucu laki-laki, dan ada seorang perempuan yang mungkin istri salah satu cucu keluarga itu yang tengah menyuapi anaknya, benar-benar berbicara dari satu mulut ke mulut. Sementara keluarga Jeno yang terdiri dari ayah, ibu, kakak perempuan, dan dirinya hanya menjadi orang yang ditanyai dan ditawarkan makanan berulang kali.

"Om nggak makan?" Jeno menoleh, menemukan pria kecil yang berusia sekitar tiga tahun bertanya dari seberang meja. Dia makan dengan mandiri meski meja dan pakaiannya belepotan makanan, wajahnya kecil dan matanya sedikit sipit.

Senyum Jeno terulas kecil, "Om makan juga kaya kamu, nama kamu siapa?"

"Namaku Jinan, Om. Jinan Adipura, kalau nama Om?" Tangan kanannya menyendok mangkuk berisi nasi dan daging ayam yang telah disuir kecil-kecil.

Sekilas Jeno mengangguk pelan dan tertawa, "Halo, Jinan. Nama Om Jeno Jayantaka Wirasastra, kepanjangan ya?" Matanya sesekali menatap satu per satu anggota Keluarga Bratadikara, terutama ayah dan ibu Jinan yang selalu memantau putra kecil mereka.

"Nggak kok, Om. Nama Jinan juga panjang, nama ayah dan kakek juga panjang, nama Om Jisung juga panjang."

"Oh ya? Siapa namanya?"

Belum sempat Jinan menjawab, ibunya sudah menegurnya untuk makan dan tidak memainkan makanannya sendiri. Wanita itu tersenyum malu pada Jeno, "Hai, Jeno. Maaf ya, Jinan suka berbicara banyak saat makan." Perkataannya membuat Jeno menggeleng pelan dan tersenyum santai, "Berapa usiamu tahun ini?" tanya ibu Jinan sembari membersihkan bekas makanan yang menempel di baju anaknya.

"Tahun ini 28 tahun, Mbak."

"Walah, lebih tua dari saya ya? Kalau gitu jangan panggil mbak ya, Jen." Ibu Jinan tersenyum dan tertawa kecil.

Jeno ikut tertawa.

"Memang usia Mbaknya berapa?"

"Saya 25 tahun, suami saya 26 tahun."

Kepala Jeno bergerak lembut mengangguk beberapa kali, "Jadi malu, ternyata saya yang paling tua hahaha."

Pembicaraan mereka berakhir karena masing-masing harus menyelesaikan makan mereka, bahkan Jeno tidak keberatan saat Pak Brata atau ia panggil Om Brata menambahkan menu makanan lain seperti bakso dan ayam goreng ke meja makan. Terkadang Om Brata dan istrinya bertanya mengenai kegiatan harian Jeno, hobi, pekerjaan, dan teman-temannya. Keduanya terlihat sangat senang dan menikmati pembicaraan di antara mereka, lalu pertanyaan yang sama datang kembali, "Tahun ini kamu 28 ya?" Yang hanya dibalas anggukan ringan oleh Jeno.

Tangan Jeno terulur untuk mengambil botol saus dan tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan pria lain, putra bungsu Om Brata. Pria itu tinggi, berbadan kurus, dan berwajah kecil dengan mata sipitnya yang ramah. Bibir tebalnya tampak memperlihatkan senyum malu dan ia menarik kembali tangannya, "Kamu duluan aja, Kak."

Jodoh di Tangan TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang