"Kenapa mau ambil cuti? Biasanya kamu nggak suka libur-liburan."
Ekspresi manajer divisi staf audit tampak heran dan bingung, di hadapannya Jeno berdiri dengan senyum manisnya yang santai dan sedikit malu.
Jeno berdehem, "Saya pikir ini waktu yang pas untuk libur sehari-dua hari, Bu." Sudah hampir satu bulan Jeno menghindari Jisung, lama-kelamaan dirinya benar-benar tidak enak hati untuk menolak, namun ia tetap menolak kehadiran pria yang lebih muda. Sekarang ia ingin rehat dan menikmati waktunya sendirian, benar-benar seorang diri walaupun hanya berjalan di sekitar ibu kota.
Sang Manajer mengangguk paham, "Kamu mau libur berapa hari? Sudah lima tahun kamu bekerja di perusahaan ini dan belum pernah ambil cuti, jatah cutimu hampir tiga bulan penuh." Matanya menelisik ekspresi Jeno yang tampak berpikir.
"Tiga hari saja, Bu Shalimar."
"Oke, tiga hari. Ini suratnya sudah saya tanda tangan, kamu kasih saja ke staf absensi dan Pak Anton." Selembar surat dalam amplop putih diserahkan kepada Jeno yang menerima dengan senang hati.
"Terima kasih, Bu. Saya permisi," ujarnya sebelum keluar dari kantor manajer.
Ruangan divisinya tengah sibuk, beberapa orang berlari bolak-balik untuk mengantarkan dokumen, sebagian sibuk mengantre untuk print dokumen maupun laporan yang hendak diserahkan kepada divisi lain. Dengan santainya Jeno berjalan menuju meja kerjanya, menyelesaikan tugas, dan memastikan bahwa kotak emailnya kosong dari segala urusan kantor, barulah Jeno pergi ke staf audit dan meminta izin kepada Pak Anton selaku wakil perusahaan. Setelah urusannya selesai, Jeno menuju ke divisi HRD untuk menemui Renjun.
Tiga ketukan di pintu dan pintu terbuka, tentunya dengan sosok Renjun yang entah bagaimana sudah hafal suara ketukan pintu yang Jeno buat.
"Kenapa, Jen?"
Jeno mengusap lengannya sendiri, "Ren, gue mau pergi liburan sebentar. Jujur aja, baik perasaan lu ataupun Jisung sekarang mulai bikin gue pusing. Gue nggak maksa kalian untuk suka terus sama gue atau nungguin gue siap, tapi di sisi lain meski gue bilang nggak maksa dan kalian tetap coba untuk nunggu gue luluh, di situ gue bener-bener capek. Kaya... gue nggak enak sama kalian, rasanya gue keterlaluan nggak ngasih kepastian. So, bahagia ya meski nggak sama gue." Sejak malam terakhir Renjun mengungkapkan rasa cemburunya, Jeno berusaha untuk membawa santai dan bersikap seperti biasa, namun perhatian yang dicurahkan kepadanya menjadi terlalu berlebihan sehingga timbul rasa tidak enak hati yang menggandrungi pikiran Jeno hampir setiap malam.
Raut wajah Renjun awalnya tampak terluka, tetapi perlahan ia tersenyum dan mengangguk dengan penuh pengertian, "Sepuluh tahun lebih gue suka sama lu, nungguin lu, dan sabar dengan perasaan gue yang bikin kacau ini... hasilnya tetap sama ya?" Ia berjalan menuju balkon yang diikuti Jeno dengan senyum getir, Renjun berbalik menatap Jeno, "Bohong kalau gue nggak mikir 'kalau gue nggak bisa dapetin lu, siapa pun juga nggak boleh dapetin lu', tapi gue akan mencoba move on. Selama lu bahagia, gue akan bahagia. Jen, jangan jatuh cinta sama orang yang salah ya? Gue bakal maju paling depan buat bunuh tuh orang yang bikin lu sedih." Renjun menarik tangan Jeno sehingga tubuh Jeno sedikit tertunduk, lalu kecupan basah mampir di sebelah pipi Jeno.
"Hei, I loves you."
Senyum Renjun mengembang cukup lebar, ada sedikit basah di matanya, namun ekspresi Renjun seakan tampak sangat lega, "Gue seneng udah sayang sama lu, pokoknya lu bahagia gue yang terdalam. Lu nggak perlu mikirin perasaan gue, tetap jalan santai dan menjadi Jeno Jayantaka Wirasastra yang selalu menikmati hidup. Gue pun akan menjadi seperti lu, gue akan santai dan nggak terbelenggu dengan perasaan ini lebih dalam lagi." Renjun menepuk bahu Jeno dengan helaan napas ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Tuhan
RomanceBerusia 28 tahun dan belum pernah berpacaran menyebabkan Jeno kehilangan minat untuk menjalin kasih dengan siapa pun, tetapi tiba-tiba saja perjanjian pra-nikah antara keluarganya dan Keluarga Bratadikara datang secara mendadak. "Kayaknya dia suka b...