"Kak, semangat ya kerjanya."
Jeno kembali menoleh pada Jisung yang berdiri di samping motornya dengan helm dan jaket yang katanya khusus buat Kak Jeno. Tubuh kurus itu tampak sangat pas dibalut oleh jaket abu-abu, namun caranya berdiri tegak menciptakan ilusi seakan Jisung adalah sosok yang lebih dewasa daripada dirinya. Ya, Jisung tampak kuat dan gagah.
Senyum Jeno selalu mencapai matanya, menarik garis cantik kelopak matanya hingga membentuk lengkungan manis yang menyenangkan, "Semangat, Jisung. Nabung yang banyak buat beli bebek, oke?" Ia pun berlalu pergi tanpa benar-benar melihat bagaimana kaki Jisung lemas dan pria muda itu bersandar pada jok motor bukan bebeknya.
Mungkin Jeno juga tidak tahu bagaimana dampak dari sikapnya terhadap sirkuit otak Jisung, yang mana pria itu hampir ditilang karena oleng di jalan dan membuat heran tukang bubur saat ditanya mau bubur berapa, jawabnya justru, "Sate padang nggak pake lontong." Membuat ia ditertawai ibu-ibu yang tengah menunggu pesanannya jadi. Akhirnya Jisung memesan bubur ayam tanpa kacang, ia duduk sembari tersenyum-senyum kegirangan.
"Lagi seneng, Mas?"
Jisung mengangguk lugas, "Seneng banget, Bang." Bubur ayam tersaji di depan matanya, lengkap dengan kerupuk kuning dan sate telur yang menggugah selera.
"Pantes sampai agak eror gitu," ujar sang Penjual sembari terkekeh.
Sekali lagi Jisung menutupi wajahnya dengan telapak tangan kanan, "Maaf, maaf, ini hari yang baik jadi ada kejadian yang bikin happy. Ini berapa ya, Bang?" Senyum Jisung menular, membuat penjual bubur ayam ikut senang.
"Dua belas ribu, Mas. Alhamdulillah kalau Mas happy, diabisin ya buburnya."
Tukang bubur kembali sibuk, Jisung pun mengaduk ringan buburnya. Ia tidak menambahkan saus ataupun kecap dikarenakan masih sangat pagi, baru jam tujuh kurang, rawan mules.
"Seharusnya tadi aku ajak ke sini..."
Meski begitu, Jisung tetap senang dan menghabiskan buburnya sesuai permintaan si penjual tukang bubur. Setelah makan, Jisung hanya duduk sebentar menikmati teh panas, membayar makanan dan minumannya, lalu pergi ke kantornya untuk melihat-lihat jadwal harian dan klien mana yang butuh ia hubungi. Kantor Jisung berada di tengah-tengah pusat kota, sekitar lima kilometer dari kantor Jeno. Kantornya sangat besar, terdiri dari sepuluh lantai utama, dan sisanya kantor perusahaan lain yang bergerak di bidang berbeda dengan kantor Jisung.
Manajernya sudah sibuk di depan meja, terkadang membalas sapaan karyawan lain dan sibuk mengetik di atas keyboard. Jisung menghampirinya, berdiri di belakang kursi setelah menyapa, "Pagi, Bang Mark." Sontak hal itu membuat Mark sedikit terheran-heran.
"Ngapain lu di sini? Jam sepagi ini."
Jisung tersenyum malu, "Lagi waras."
"Ohh, kirain kesambet apaan."
"Ada kerjaan lain nggak, Bang? Masa Jisung nganggur sampai sore?" Biasanya Jisung akan sibuk pada jam-jam makan siang sampai malam sebelum menjemput Kak Jeno-nya.
Melihat tumpukan laporan di samping meja, Mark pun menunjuk ke arah itu, "Ini laporan buat Ibu Andini, tolong dianter ke ruangannya. Yang sebelah kiri laporan majalah bulan ini, belum direkap datanya. Kalau nggak over work, coba tolong lu kerjain dulu, nanti gue periksa. Nanti gaji lu ditambah jadi jam lembur, ya? Jangan meleng kerjainnya, itu angka semua." Mark tahu Jisung sangat teliti, ia hanya ingin memastikan Jisung tidak membuat satu pun kesalahan yang pasti sulit dideteksi.
"Siap, Bang Mark."
Dua lengan kuat Jisung segera membawa tumpukan dokumen yang tingginya hampir empat puluh sentimeter, ia membawanya ke ruangan Bu Andini di lantai paling atas, lalu kembali turun dan duduk di mejanya setelah menumpuk laporan rekap data bulan ini di atas meja kerjanya. Kacamata ia kenakan, segera Jisung membaca satu per satu data, membuat tabel sederhana di komputernya dan mencoret beberapa hal yang salah. Pagi itu ia sibuk, sangat sibuk, namun kondisi hatinya juga sangat teramat baik sehingga pekerjaan sebanyak itu selesai tepat jam makan siang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Tuhan
RomanceBerusia 28 tahun dan belum pernah berpacaran menyebabkan Jeno kehilangan minat untuk menjalin kasih dengan siapa pun, tetapi tiba-tiba saja perjanjian pra-nikah antara keluarganya dan Keluarga Bratadikara datang secara mendadak. "Kayaknya dia suka b...