Asap kelabu membumbung tinggi tatkala memenuhi udara, menari-nari dengan riang gembira, meleburkan perasaan gundah yang kian nakal menyesakkan dada. Kedua manik mata hitam kecokelatan terlihat begitu sibuk menelanjangi langit malam, bertanya-tanya dalam benaknya yang kini sedang berantakan. Bayang-bayang rasa pahitnya kecemburuan masih mengudara dalam batinnya, tetapi Jisung mencoba sebisa mungkin untuk meredam segala perasaannya. Ia tidak ingin terus berkecimpung hingga perlahan larut dalam perasaan yang tidak mendasar, "Sebenarnya ... apa, sih, yang lagi terjadi? Harusnya gue bisa mikir sebelum berbuat sesuatu ...." Lirih dalam nada suaranya bermain-main dengan asap nikotin yang seharusnya sudah berhenti ia hirup sejak lama. Jisung menekan pucuk rokok yang membara pada lantai asbak besi di atas meja, memadamkan api yang begitu lahap memakan puntung rokoknya.
Helaan napas kembali terembus samar dari sepasang bilah bibirnya yang tebal, sepertinya benar apa yang dikatakan oleh Mark, bahwa ujian seseorang yang hendak membuka lembaran baru bernama kehidupan pernikahan memang cukup berat. Bukan berarti Jisung tidak sanggup untuk melawan beban berat itu, tetapi ia jelas belum siap untuk menerima lebih banyak ketidaksenangan yang mungkin akan berputar-putar sebelum hari pertunangan antara dirinya dan Jeno tiba tepat waktu.
Suara pintu yang digeser tidak membuat Jisung bergerak, kedua telinganya hanya ia gunakan untuk mendengar suara langkah kaki Mark yang mendekat. Laki-laki yang lebih tua darinya itu duduk di sebelahnya, ia jelas tidak merokok seperti dirinya. Mark mengamati sisi wajah Jisung yang rahang tegasnya mengencang, "Sorry, gue bikin keadaan lu jadi makin kacau." Perkataan Mark tulus dan Jisung tahu itu dengan baik.
"Sebenarnya ini salah gue, Bang. Gue tahu gue masih curigaan dan itu nggak baik," ujarnya dengan dahi mengerut samar.
Ekspresi Mark masih penuh dengan rasa bersalah yang mengental pada wajahnya, "Curigaan soal Jeno sama temennya itu?" Ia tidak bermaksud mengorek-ngorek luka lama, tapi ia perlu tahu duduk perkaranya.
Jisung terkekeh lembut, kepalanya sedikit merunduk, "Jujur ini malu-maluin, tapi, iya. Gue kadang masih takut kalau temennya yang duluan naksir dia, perjuangin dia, lebih pantes buat dapetin Jeno." Bahu kiri Jisung terangkat dengan lemah, "Bukan berarti gue pengecut, sebagai manusia biasa, gue juga punya perasaan di mana gue bisa merasa insecure." Rendah diri adalah apa yang biasa dihadapi oleh setiap manusia. Perasaan tidak menyenangkan yang acap kali mengganggu mereka dan Jisung mengakuinya, ia benar-benar membuka dirinya akan apa yang ia rasa.
Punggung Mark bersandar pada punggung kursi kayu di belakangnya, tatapan mata pria yang sudah menikah itu berlabuh pada langit yang gulita, "Nggak ada yang bisa melawan rasa insecure itu kalau bukan dari diri lu sendiri, Sung. Kalau lu merasa orang lain lebih daripada diri lu, kenapa nggak lu buat diri lu lebih lagi dibandingkan orang lain?" Pergelangan tangan kanannya berputar santai sebelum lengannya bersandar pada tepi meja bundar di hadapannya.
Rasa tidak puas diri dan rendah diri yang seharusnya menenggelamkan kepercayaan diri Jisung perlahan surut, mungkin memang benar bahwa dirinya hanya butuh bicara untuk meredam segala ketidaknyamanannya tersebut. Ponselnya yang tergeletak pasrah di atas meja bundar kembali bergetar, notifikasi pesan masuk satu demi satu mengisi layarnya.
Kak Jeno Sayang: Lu jadi jemput gue nggak, Ji?
Kak Jeno Sayang: Ini gue udah selesai kerja.
Jisung termenung sejenak. Sepasang kelopak matanya terkatup rapat, jika ia ingin menghadapi rasa takutnya, maka dirinya harus berada dalam keadaan setenang yang ia bisa.
Takut pada apa?
Takut kebenaran yang macam apa?
Sekali lagi Jisung bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Tuhan
RomantikBerusia 28 tahun dan belum pernah berpacaran menyebabkan Jeno kehilangan minat untuk menjalin kasih dengan siapa pun, tetapi tiba-tiba saja perjanjian pra-nikah antara keluarganya dan Keluarga Bratadikara datang secara mendadak. "Kayaknya dia suka b...