Pembicaraan

552 75 0
                                    

Malam berkuasa dengan para bintang yang bersinar redup di balik awan gelap, suasana telah sunyi senyap ketika lelap membuai banyak orang dalam mimpi tenang. Di sebuah rumah sederhana dengan dua lantai dan para penjaganya, tamu tak diundang datang tepat jam satu malam, membuat para penjaga bimbang karena tidak ada perintah dari sang empunya rumah.

"Den Jeno udah tidur, Den Jisung."

"Tolong bangunin, Pak. Bilangin, Jisung mau ngomong."

Melihat ekspresi Jisung yang berbeda dan tampak serius, akhirnya Pak Andri masuk dan mencoba berbicara dengan Jeno. Benar saja, Jisung diperbolehkan untuk masuk.

Kelopak mata Jeno benar-benar berat karena ia sudah tertidur lelap, ia menunggu sebentar sebelum suara pintu terbuka membuatnya tersenyum. Jeno mengulurkan kedua tangannya, namun bukan pelukan yang ia dapat, melainkan genggaman tangan yang perlahan membantunya untuk duduk. Jeno merasa ada sesuatu yang salah, jadi ia duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Matanya terbuka kecil, ia sedikit heran melihat raut wajah Jisung yang sepertinya sangat marah. Pria yang lebih tua mengamati Jisung sejenak, lalu membuka mulutnya.

"Kenapa, Ji?"

Emosi Jisung meledak-ledak, ia menarik dan mengembuskan napas perlahan, "Kak, gue mau tanya. Lu yang punya Jayara?" Ia tidak lagi menjadi Jisung yang biasanya, tetapi Jeno tidak banyak menunjukkan emosi atau keterkejutannya.

"Iya, Chenle udah kasih tau lu?"

"Kenapa lu nggak jujur sama gue?"

Jeno membuka mata sepenuhnya, bertatapan dengan ekspresi marah dan kecewa dari Jisung, "Soal apa lagi, Ji?"

"Udah dua kali lu nyembunyiin hal-hal kaya gini, lu yang hobi turun ke arena dan jadi lawan gue, lu yang punya Jayara. Jangan-jangan lu juga ngelakuin hal lain? Yang punya kantor tempat lu kerja, gitu."

Di saat seperti ini Jisung masih terkesan bercanda, tentu saja Jeno tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya terbatuk, membuat pria yang lebih muda kelabakan mencari air minum. Setelah meminum air dari gelas yang tersedia di samping meja, Jeno pun menatap Jisung lagi.

"Gue nggak sekaya itu, Ji. Gue kerja sama bareng Chenle karena gue juga butuh sponsor, Jayara masih kecil, Jayara nggak pernah berkembang sejak gue kecelakaan bareng Jaemin," jelas Jeno santai, seakan semua yang ia bahas hanyalah tentang makan malam.

Mendengar penjelasan singkat itu hanya membuat Jisung bertambah kesal, "Kenapa lu mau kembangin Jayara? Tim lu gue beli, tapi lu stop dari kegiatan ini. Apa perlu gue paksa? Nikah sama gue, lu diem di rumah, urus aja kucing-kucing jalanan." Nada suara Jisung dalam dan sedikit kasar, tetapi hal itu sepertinya hanya gertakan sambal bagi Jeno.

"Gue nggak suka pembahasan ini."

Jisung memukul punggung ranjang yang menjadi tempat Jeno bersandar, "Terus, mau lu apa? Gue cuma mau lu diem, kerja kaya biasa, pulang, main game, nongkrong di warung kopi. Lu udah dua kali kecelakaan, Kak. Puji Tuhan lu masih selamat, kalau enggak? Gue ikut mati sama lu kalau lu kenapa-kenapa." Napas Jisung memburu, ia benar-benar marah.

Tangan Jeno menutup mulut Jisung, "Maksud lu, gue kaya bapak-bapak gitu? Segala nongkrong di warung kopi pake dijabarin juga." Jeno tertawa geli lagi, "Jangan ngomong aneh-aneh, Ji. Gue seneng punya Jayara, gue seneng kebut-kebutan di jalan, itu menantang banget buat gue dan bikin gue happy. Rasanya kaya gue hidup lagi, gue yakin lu paham." Tangannya bersedekap erat.

"Iya, gue paham. Gue tau rasanya bebas banget, tapi gue kapok lihat lu berdarah-darah. Apa lu mau nunggu fatal dulu, baru lu kapok? Iya, Kak?!" Rasanya kepala Jisung ingin meledak.

Jeno menghela napas, tapi ia juga sama keras kepalanya, "Untuk kali ini, gue nggak mau dengarin apa-apa lagi. Gue lebih milih bertahan sama Jayara, kalau lu nggak suka, lu bisa pergi ninggalin gue. Gue lebih butuh Jayara daripada lu, Ji." Ketika kalimat itu terlontar, kedua mata Jisung tampak terbuka lebar.

Jodoh di Tangan TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang