Badai dalam Pelangi

673 77 11
                                    

Bibir Jeno tersenyum geli merasakan sepasang bibir tebal mengecup seluruh permukaan wajahnya, sesekali bibir itu mengecup berulang pada pucuk hidung Jeno yang bangir. Dua tangan besar menangkup sisi-sisi kepalanya, menahannya untuk sedikit mendongak selama wajahnya dihujani dengan ciuman sayang. Jeno mendorong lembut dada Jisung, "Udah, lu nggak malu dilihatin orang-orang?" Pasalnya mereka berada di depan kantor Jeno yang baru.

Pria itu baru mendapat panggilan setelah satu minggu pulih sepenuhnya, kebetulan ia diterima di dekat kantor Jisung, jaraknya hanya sekitar tiga ratus meter. Seperti yang pernah Renjun katakan, dirinya juga mendaftar di tempat yang sama dan diterima di posisi yang cocok, hampir sama seperti di kantor mereka yang lama. Sebenarnya hal ini cukup membuat Jisung cemburu, terlebih Renjun benar-benar membuktikan bahwa cintanya untuk Jeno tidak pernah habis. Pria itu sangat loyal dan tentu saja royal pada Jeno, tidak ada satu pun hal yang membuat Renjun mundur sekalipun Jisung adalah dinding tertinggi yang membatasi perasaannya.

"Jangan telat makan, oke?" titah Jisung setelah mencium lama bibir Jeno.

Jeno mengangguk pelan, "Jarak kita cuma tiga ratus meter, Ji. Lu bisa samperin gue kalau jam makannya barengan, nggak perlu khawatir." Ia mengibaskan bagian bawah jaketnya sebelum membukanya dengan santai.

Melihat kekasih hatinya tampak sangat santai membuat Jisung ikut tenang, "Jangan nempel-nempel sama Koh Renjun, apalagi Kakak dicium-cium bahunya sama dia!" Jisung masih kesal setiap kali mengingat bagaimana Renjun bersandar pada tubuh Jeno dan mengecup bahunya untuk membuatnya cemburu.

"Iya, iya, lagian dia udah nggak pernah gitu lagi kok. Cemburuan banget lu, Bocil."

"Bocil gini Kakak suka, tenang aja, kencing Jisung udah lurus kok."

"Ah, masa? Coba nanti gue lihat."

Wajah Jisung merah merona, secara refleks kedua tangannya menutupi wajahnya yang kecil. Kepalanya menggeleng pelan, malu. Tawa Jeno terdengar, membuat Jisung lebih malu.

Jeno mengangkat kepalanya dan mengecup punggung tangan Jisung yang masih menutupi wajahnya sendiri, "Udah ya, lu masih bocil, jangan aneh-aneh ngomongnya. Baru juga gue giniin, udah malu, gimana kalau gue tawarin yang lain?" Alis Jeno naik-turun menggoda.

".... Memang Kakak mau nawarin apa?"

"Lu maunya apa? Tidur sama gue, gitu?"

"KAK!"

Pembicaraan mereka yang tidak jelas akhirnya berakhir dengan Jeno yang berjalan memasuki kawasan kantor, meninggalkan Jisung yang menatap punggungnya sampai pria yang lebih tua menghilang di balik pintu kaca. Jisung menepuk-nepuk pipinya, ia tersenyum-senyum sepanjang perjalanan kembali ke kantornya sendiri. Meskipun ini baru jam setengah tujuh pagi, namun ia memilih pergi ke kantor untuk membantu pekerjaan sang Manajer, Mark.

Kantor masih sangat sepi ketika Jisung tiba di lantai lima dan menemukan Mark yang tengah meregangkan tubuhnya, ia melihat di atas meja sang Manajer sudah terdapat banyak dokumen penting. Memikirkannya saja Jisung sudah muak, apalagi jika ia menjadi Mark? Mungkin Jisung akan benar-benar mengalami kebotakan dini.

Mark terkejut melihat Jisung, "Widih, datang pagi lagi lu. Abis nganterin pacar apa gimana?" tanyanya iseng.

Cengiran Jisung tampak lebar, "Hehe, kok Abang tau? Pacar Jisung kerjanya di sekitar sini, dia abis pindah kerjaan. Tapi masuk pagi, yaudah, Jisung ikut aja, lumayan bisa lihat mukanya yang cakep itu setiap pagi." Memang orang yang sedang kasmaran itu beda sekali, tingkah Jisung ini hampir di luar nalar.

Manajernya tertawa, "Bucin banget, Ji."

"Hehe, Bang Mark mau dibantuin? Jisung senggang nih," tawarnya dengan senang hati, lumayan otaknya bisa digunakan untuk hal-hal bermanfaat.

Jodoh di Tangan TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang