Kemungkinan

642 80 5
                                    

Pada hari Senin, kantor sedang sibuk-sibuknya ketika jam makan siang akhirnya tiba. Jeno meregangkan tubuhnya sebelum memastikan bahwa tugas utamanya telah selesai dan emailnya bersih dari laporan-laporan memusingkan yang harus ia benahi. Hari ini sang Ibu membuatkannya bekal makan siang, lengkap dengan jus buah untuk dua orang, siapa lagi jika bukan untuk Renjun selaku rekan kerjanya yang setia.

Jeno turun ke lantai paling bawah, ia berjalan menelusuri jalan menuju kantin yang sudah ramai oleh orang-orang kelaparan. Tiba-tiba matanya menangkap punggung seseorang yang ia kenali, lebih terkejut lagi saat melihat di depan orang tersebut duduklah seorang Renjun Wiraatmadja yang tengah makan dengan lahap seperti biasanya. Pelan-pelan Jeno mendekati mereka, hatinya masih merasa aneh melihat pemandangan itu. Ini adalah ketiga kalinya Jeno melihat Jisung berada di kantin kantornya, sungguh suatu kejadian yang cukup aneh.

Mata Renjun bertatapan dengan matanya, lalu pria itu menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan agar Jeno duduk di sampingnya.

"Lu ngapain di sini, Ji?"

Jisung menyedot es jeruk dengan sedotan besi yang sepertinya ia bawa ke mana-mana.

"Ini strategi buat deketin Kak Jeno," jawab Jisung lugas, namun ada senyum dan tingkah malu yang membuatnya lucu.

Jeno menaikkan sebelah alisnya sebelum duduk nyaman di sebelah Renjun, "Nggak lu hajar nih anak?"

"Nggak, lagi mager." Renjun melanjutkan memakan sup ayam berisikan wortel, kentang, dan potongan daging ayam. Tangan kirinya menerima sebotol jus buah yang ia tahu dibuatkan oleh Nyonya Wirasastra.

Jisung melihatnya.

"Lain kali Jisung juga mau."

Jeno membuka kotak makan siangnya yang berisi berbagai macam lauk-pauk, "Lu jangan ngelunjak, baru juga gue ijinin anter-jemput udah kaya mau nguasain mamah gue aja." Jeno meletakkan beberapa lauk dan nasi ke wadah kosong yang biasanya sang Ibu siapkan untuk keadaan darurat, lengkap dengan sendok dan garpu. Ia serahkan sebagian makanan itu ke hadapan Jisung, membuat pria yang lebih muda kembali salah tingkah.

"Ini, sih, Jisung yang dikuasai masakan mamah mertua."

"Coba lu ngomong lagi," kata Renjun sengit, tatapan matanya membara.

"Jisung tadi bilang, Jisung yang dikuasai masakan mamah mertua."

"Pede banget ya lu, pengin gue mampusin." Renjun hampir menggebrak meja, tapi Jisung tersenyum-senyum seakan tidak takut dengan segala ancaman pria yang lebih tua di sebelah Jeno itu.

Jeno tertawa terbahak-bahak melihat adegan Renjun yang hampir mengamuk dan Jisung yang sepertinya memiliki sembilan nyawa karena berani menantang seorang Renjun Wiraatmadja.

"Kenapa lu ke sini? Selain strategi buat deketin Kak Jeno alias gue, lagian 'kan kantor lu jauh. Ya nggak?" tanya Jeno sambil mulai memakan makanannya.

"Nggak jauh kalau buat samperin Kak Jeno, Jisung kuat kok."

"Anjing, ngeselin banget," kata Renjun yang kembali naik darah.

Telapak tangan kanan Jeno menepuk-nepuk punggung Renjun yang duduk di samping kanannya, "Lu sekarang ngerti maksud gue, kan?" Di sebelahnya Renjun kembali makan dengan raut wajah kesal. "Iya, maksud gue, tuh, lu ngapain di sini? Nanti lu telat masuk kantor, kena pecat 'kan bahaya. Lu nanti nggak bisa beli bebek, tau." Jeno membiarkan bahu Renjun sedikit bersandar di bahunya.

"Itu ngapain Koh Renjun mepet-mepet Kak Jeno-nya Jisung?!" Pria itu bahkan hampir berdiri karena tidak terima melihat kedekatan Jeno dan Renjun.

"Heh, Tiang Bambu, yang deketin Jeno duluan, tuh, gue! Lu mending jauh-jauh dari hidup gue dan Jeno yang bahagia, hushh!" Renjun jelas tidak menerima provokasi ini, dengan kasar ia menunjuk Jisung menggunakan sendoknya.

Jodoh di Tangan TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang