Kangen

655 63 0
                                    

Kamis siang dan Jeno sudah duduk di kursi belakang motor hitam Jisung, pria itu memeluk erat tubuh Jisung karena kencangnya kendaraan roda dua yang dengan gesit membelah padatnya kota Jakarta. Mereka menelusuri jalanan kecil perumahan, menembus dari satu gang ke gang lain, lalu melewati area rumah-rumah asri yang masih banyak memelihara unggas dan kucing rumahan yang dengan sengaja dilepas.

"JI, BURUAN! GUE TELAT INI!"

Jeno berteriak dari balik helmnya. Ia sungguh sangat tidak beruntung ketika atasan memanggilnya untuk datang ke pertemuan makan siang dengan klien. Motor tidak ada, mobil perusahaan semua telah digunakan, dan tukang ojek pun tampak tidak bersedia mengantarnya. Dengan terpaksa Jeno harus merecoki jam makan siang Jisung, yang kebetulan baru selesai bertugas menemui kliennya sendiri.

Jisung panik, namun kedua tangannya mampu menyeimbangkan posisi motor dan terus melaju cepat bagai angin.

"Iya, Kak! Sebentar ya, semenit lagi sampai kok!"

Setelah memutar jalan, akhirnya motor Jisung tiba di Mal Gandaria. Jeno segera turun, melepaskan helmnya, dan berlari masuk meninggalkan Jisung yang menggelengkan kepalanya pelan. Bibir tebalnya menyunggingkan senyum kecut, "Kak Jeno sibuk banget, giliran gue udah luang, dia yang sibuk. Nggak tau apa kalau gue kangen?" keluh Jisung.

Di dalam sana, Jeno segera merapikan pakaian, rambut, dan mengenakan parfum mahal untuk menutupi segala aroma asap ataupun matahari. Dengan cekatan Jeno mempersiapkan diri dan proposalnya apabila dibutuhkan, beberapa menit kemudian Jeno akhirnya memasuki restoran yang telah dipesan oleh perusahaannya.

Pertemuan itu sangat penting, Jeno bahkan bertemu dengan beberapa anggota dari divisi lain, dan secara mengejutkan bersitatap dengan Renjun yang memiliki gaya rambut klimis.

"Duduk di sini, Pak Jeno."

Makan hotpot di siang hari sangatlah membuat perut panas, tetapi klien datang dengan senyuman. Mereka berbicara dari satu mulut ke mulut, dari satu topik ke topik, pembicaraan bisnis itu berjalan berjam-jam lamanya. Ketika makanan disingkirkan, atasan Jeno meminta Jeno mempersiapkan data untuk suku cadang yang bisa mereka pasarkan secepatnya, lalu atasannya dan sang klien kembali sibuk saling berbicara di antara mereka sendiri, meninggalkan orang-orang untuk duduk diam di sudut tempat tanpa kehilangan konsentrasi.

Jeno menatap Renjun yang ikut dalam pembicaraan, Bahasa Mandarinnya sangat digunakan, ia seperti tengah menjelaskan dan membujuk klien dari China itu dengan cara yang lembut.

"Pak Renjun yang turun tangan?"

Satu orang berbisik dan sekelompok orang akan ikut berbisik.

"Beberapa minggu ini banyak klien luar negeri ya?"

Jeno memakan kue cokelat yang ia ambil, ia hanya mendengarkan dengan tenang.

Perut semua orang kosong untuk beberapa jam, sebagian orang kembali ke kantor, sebagian kecil tinggal untuk menjaga atasan masing-masing. Termasuk Jeno, ia bahkan makan malam di tempat yang sama, dengan menu lain yang cukup menggugah selera.

Hampir jam delapan dan akhirnya pertemuan itu berakhir, klien telah mencoba bernegosiasi untuk pembelian barang, dan tim marketing pun sibuk menawarkan barang lain yang sekiranya menarik minat klien tersebut.

"Capek, Ren?" tanya Jeno sambil merapikan jas hitamnya sendiri.

Di sebelahnya, Renjun berdiri dengan tampang kusut, "Capek. Temen gue ngomong sama bosnya kalau perusahaan kita oke, nah, bosnya ini ngomong ke circlenya sesama pengusaha otomotif. Banyak yang lebih tertarik buat ganti onderdil mereka, yang kebetulan, merek dagangnya sama kaya punya kita. Ini bukan kerja sama bisnis, tapi kerja sama pribadi." Mengingat harga satuannya mahal, klien memutuskan untuk mengajak beberapa temannya agar bisa melakukan pembelian dalam jumlah besar dari mereka untuk mendapatkan harga murah, tentu saja itu tetap menguntungkan bagi perusahaan ini.

Jodoh di Tangan TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang