05

324 26 6
                                    


   Cuaca panas menuju pukul sebelas, dua anak manusia remaja tanggung sudah berduduk santai di taman sekolah setelah diusir oleh penjaga perpustakaan karena terlalu ribut. Mashiro, satu tahun setengah tak pernah baginya pergi kemana pun selain perpustakaan dan atap—dan, ini kali pertama baginya menduduki bangku taman sekolah. Jika bukan karena Agita, Mashiro rasanya tak mungkin sempat barang sedikit mencicipi masa muda layaknya anak SMA sesungguhnya.

  Mashiro membiarkan lelehan es krim cokelat mengenai jari telunjuk dan ibu jarinya, tidak tahu harus bagaimana cara mengatakannya—Mashiro merasa bahwa semuanya terasa tenang, ringan dilalui, mudah dijalani. Agita menepuk pundak Mashiro, membuat sang empu segera menoleh, Agita menunjuk es krim milik Mashiro yang sudah setengah lelehan jatuh di bawah rerumputan hijau agak menguning. Agita segera merogoh kantong seragamnya, mengambil tisu wajah yang ia tarik dari bungkusan berbentuk persegi panjang.

  Tanpa merasa canggung, Agita meminta Mashiro memindah es krim di tangan kanannya ke tangan kiri, seperti seorang Ibu dan Anak, Agita mengelap jari-jari Mashiro yang kotor dengan tisu—Mashiro membiarkan saja apa yang telah dilakukan Agita, entah bagaimana, ia merasa sangat bahagia apalagi jika seseorang seperti Agita begitu perhatian. Mashiro sempat menyesal memilih mengacuhkan Agita diawal, jika ia tahu Agita selembut hati seorang Ibu—maka, semenjak dulu pun Mashiro pasti akan berteman dengan Agita.

"Kak Hiro, kamu kayak anak kecil yah? Masa udah kelas sebelas makan es krim tangannya belepotan begini." sambil melipat tisu yang sudah kotor, Agita berucap menahan tawa.

Mashiro menjilati es krim yang tersisa setengah di tangan kirinya dengan hati-hati, "Aku nggak biasa makan es krim yang pakai stik, susah pegangannya apalagi jari-jari lumayan panjang begini," jawab Mashiro, tidak rela ia dikatakan anak kecil.

"Oh iya, kak Hiro beneran blasteran Jepang-Indonesia ya? Dilihat-lihat kulit kakak putih pucat gitu, mukanya juga mendukung orang Asia Timur," ucap Agita, berusaha sekali gadis itu mencari topik pembicaraan.

Mashiro mengangguk, "Kalau bukan asli blasteran, gak mungkin aku dijuluki terigu sama anak lain," pungkas Mashiro enteng. Agita yang mendengar malah langsung menahan tawanya.

  Angin kemarau kembali bertiup, rasanya agak sejuk karena dua manusia itu duduk yang tepat kursinya berada di bawah pohon mahoni. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing, dan sekarang memang sudah masuk jam istirahat pertama—es krim Mashiro sudah semenjak tadi menyisakan stiknya saja, Agita menyandarkan kepalanya di bahu kanan Mashiro, sementara Mashiro tidak muluk-muluk—ia hanya diam sambil melihat suasana yang memang sepi kecuali kursi sebelah kiri yang agak jauh dari posisi mereka diisi oleh pasangan yang menghabiskan waktu untuk berbagi cerita.

  Mashiro menoleh ke arah kanan, memperhatikan Agita yang sudah memejamkan matanya, menikmati sepoi-sepoi angin yang ikut menerpa rambut poni Agita. Mashiro gemas, gatal sekali tangannya untuk merapikan poni Agita yang berantakan karena ulah jahil angin siang. Mashiro masih setia sambil sesekali melihat ke arah sekitar lalu melirik Agita yang mungkin kiranya sedang tidur—Mashiro melihat  wajah Agita dalam-dalam, jantungnya berpacu cepat sambil sesekali melihat intens mata gadis itu.

"Agita," panggil Mashiro, sambil menepuk pelan pipi gadis itu, "Udah hampir masuk, kamu mau bolos?" sambil sesekali menepuk pelan, suaranya yang lembut membuat samar-samar rasa kantuk Agita semakin menjadi.

"Agita, bangun!" Mashiro mengeraskan suaranya, membuat mata Agita lekas membuka dan kepalanya langsung diambilnya dari bahu Mashiro.

  Agita mengembuskan napas malas, ia kucek matanya berusaha menghilangkan rasa kantuk. Mashiro di sebelahnya sudah berdiri dan siap melangkah menantang angin, Agita yang menyadari itu langsung ikut berdiri sambil tergesa-gesa gadis itu merapikan rambutnya yang sempat berantakan. Matanya sungguh menatap dalam ke arah tubuh laki-laki di depannya, ia sempat menarik kedua sudut bibirnya, senyum dengan rasa malu.

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang