01; PROLOG

412 28 7
                                    


"Stigma mendahului segala sesuatu yang direncanakan."

•Anxiety Disorder •

---


"Mashiro!" panggil Ayana sembari mengejar anaknya yang lebih cepat melangkah menyusuri tangga.

"Dengerin Mama dulu, Hiro! Mama ngelarang kamu bukan berarti nggak suka, kamu itu punya penyakit, kalau kambuh gimana? Siapa yang repot? Mama yang repot, Hiro." Ayana mencoba terus mengejar anaknya, sementara Mashiro mengidahkan seolah rungunya tuli.

"Hiro! Kamu dengar Mama nggak sih?" Tanya Ayana sedikit meninggikan suaranya, sontak membuat Mashiro yang sudah tepat berada di depan kamarnya berbalik badan, menatap Ayana yang jaraknya tak seberapa jauh.

"Apa sih, Ma! Hiro udah turutin semua kemauan Mama. Sekarang, giliran Hiro mau mendalami bakat Hiro, Mama malah menyepelekan. Mama maunya apa sih?" sekarang justru giliran Mashiro yang tidak dapat menahan mulutnya, semenjak di sekolah tadi emosinya tidak stabil.

Ayana menatap anaknya lamat-lamat, mencoba bersabar menghadapi Mashiro yang masih kekanak-kanakan. "Mama maunya kamu sekolah yang bener, Hiro. Nggak usah ikut apa-apa yang bikin penyakit kamu kambuh, itu aja, masa kamu gak bisa mengerti Mama, sih?"

Mashiro menahan tawa, merasa lucu sendiri mendengar apa yang telah diucapkan oleh Ayana. "Ma, Hiro udah gede, Hiro udah bisa jaga diri. Mama jangan berlebihan!" pungkasnya, tangan kanannya memegang kenop pintu kamar.

"Kalau Mama ngelarang Hiro ikut eskul Dance, Hiro lebih baik milih ikut otousan!" kecam Mashiro sambil masuk kamar yang diakhiri dengan suara keras pintu kamar yang dibanting.

Ayana memejamkan matanya, memijat pangkal hidungnya. Setelah perceraian antara dirinya dan Akihiro, sifat Mashiro berubah-anak itu cenderung keras kepala, sulit ditebak apa maunya dan pada saat meminta sesuatu ujungnya malah perdebatan yang tercipta. Ayana melangkah cepat sembari membenarkan rambutnya, sore ini ia harus tetap pergi ke kantor-belum lagi butik miliknya yang sedang ramai pemesanan, mau atau tidak Ayana harus datang kalau pun akan sedikit membantu dalam proses menjahit atau melakukan desain sesuai perjanjian temu dengan klien.

Suara mobil menderu meninggalkan pekarangan rumah hingga keluar dan melaju setelah keluar pagar. Di dalam rumah, Mashiro duduk bersandar tepat di pintu kamar-ia menyadari pertengkaran kecil pada sore ini, namun jika tidak dengan begitu sampai kapan ia akan terus menuruti segala keinginan Ayana, Mashiro juga manusia yang punya hak apa pun untuk melakukan suatu hal, dengan pilihan dan berkemampuan menjalaninya.

Mashiro kesal juga rasanya, Ayana selalu mengaitkan tentang gangguan kecemasan yang dideritanya, mirisnya apapun pilihan yang dibuat oleh Mashiro selalu dikaitkan dengan penyakit. Mashiro sudah remaja, sudah duduk di kelas dua jenjang SMA-Mashiro akan menjadi sosok laki-laki yang suatu saat memimpin rumah tangganya, yang akan memiliki jiwa kepemimpinan serta pandai dalam menentukan keputusan, jika semenjak sekarang ia tidak berubah entah bagaimana hidup ke depannya.

Mashiro mengembuskan napasnya kasar, ia berdiri, melepas seragam dan berganti pakaian. Matanya sempat melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore, pertengkaran tadi membuatnya lupa bahwa perutnya begitu lapar-Mashiro keluar dari kamar, melangkah biasa selayaknya tidak terjadi apa-apa. Ia menuruni tangga, kepalanya sempat toleh kiri kanan menyadari jika sekarang benar-benar sedang sepi-masih sempat itu mengecek jika mobil yang sering ditumpangi Ayana tidak ada di depan rumah.

Ia justru mendesah kecewa, Ayana selalu begitu, memilih pekerjaan ketimbang anaknya sendiri tapi, Mashiro selalu beranggapan jika karier juga manjadi utama selain anak. Mashiro mengambil piring, mengambil sedikit nasi dan beberapa lauk-ia menikmati makan menjelang malam dengan sendirian sambil sesekali menoleh ke sudut mana saja, hanya untuk mengusir rasa kesepiannya-karena porsi makan Mashiro sedikit tak sampai dua puluh menit ia sudah menghabiskan makanannya.

Ia lekas mencuci piring serta kedua tangannya, kemudian membawa piring yang sudah bersih ke sebelah kiri, yang dimana di sana sudah disediakan keranjang untuk mewadahi alat makan yang masih basah. Selesai dengan kegiatan itu, Mashiro berniat kembali ke kamar-menonton film atau apa saja yang akan mengurangi rasa kesepiannya. Belum selangkah ia menaiki tangga seruan seseorang membuatnya menoleh.

"Mbak Ayana kemana?" Tanya Cyntia sambil menatap serius ke arah Mashiro. Cyntia adalah adik kandung Ayana, masih menempuh pendidikan di suatu universitas terdekat.

"Nggak tahu, tadi Mama pergi gak kasih tahu Hiro," jawab Mashiro jujur.

Cyntia mengangguk, "Pantesan sepi, padahal mau ada yang gue sampaiin, ya udah deh, gue masuk dulu," ucap Cyntia mengakhiri pembicaraan, namun sebelum benar-benar pergi, Mashiro sudah lebih dulu menahan.

"Kak Cyntia, aku boleh minta tolong nggak?" ucapnya yakin tanpa sangsi sedikitpun.

Cyntia langsung menoleh, "Mau minta tolong apa?" Tanya Cyntia langsung poinnya saja.

"Bujuk Mama biar mau kasih izin Hiro ikut kelas Dance," jawab Mashiro, matanya lurus ke arah lawan bicaranya.

"Lu yakin? Bukannya, lu gak bisa beraktivitas yang kayak begituan, Hiro?" Cyntia meragukan perkataan Mashiro.

Kini raut wajahnya berubah kecewa, "Jangan dikaitkan sama penyakit, Hiro yakin bisa ikut kelas Dance." tanpa sedikit pun ada keraguan dari ucapannya, memang sudah tekad bulat baginya untuk kembali menjadi seorang penari modern seperti kala ia masih SMP.

Cyntia melihat tekad yang begitu bulat ada pada Mashiro, lama ia berpikir sebelum mengangguk. "Gue gak bisa janji bakal berhasil atau nggak, bakal gue coba ngomong sama Mbak Ayana," pungkas Cyntia yang diakhiri dengan senyum simpul khas miliknya.

Tidak luput membalas senyum Cyntia sembari menggancungkan ibu jarinya, Mashiro kembali melangkah menaiki tangga meskipun beda beberapa langkah dari Cyntia, kebetulan kamar orang rumah memang berada di lantai atas-namun, ada dua kamar di lantai bawah, yakni kamar tamu. Cyntia sudah benar-benar masuk ke dalam kamarnya, kini giliran Mashiro yang lekas ikut masuk-saat berada di dalam kamar, yang dilakukan Mashiro hanya lekas berbaring, tidak tahu apa yang harus ia lakukan-bermain ponsel saja sudah merepotkan dan melelahkan.

Tidak tahu harus apa yang dilakukannya, Mashiro mencoba memejamkan mata. Beberapa saat ia merasa tenang dengan apa yang ia lakukan, namun saat mengingat sesuatu Mashiro lekas bangun. Ia bergegas berjalan ke arah meja belajar-meraih tas sekolah dan membuka, mencari secarik kertas izin untuk mengikuti kelas Dance. Mashiro membaca bagian bawah, tulisan tengat waktu atau batas pengumpulan surat izin, hanya tersisa esok hari dan hari ini atau malam ini ia harus mendapatkan izin dari Ayana.

©Mn_ikye, 11 Mei 2023

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang