Mashiro memberikan selembaran sambil mengucap terima kasih saat ia sudah sampai tujuan. Sebenarnya sudah pukul 16.35, ia lihat gedung pencakar langit yang masih sibuk dengan orang-orang yang berlalu-lalang, ada yang masuk dan keluar namun beberapa pegawai sudah banyak yang pulang, mungkin hanya beberapa pegawai yang menjalankan tugas lembur yang masih bertahan.Mashiro masuk melewati pintu kaca, ia setengah yakin untuk melakukan niatnya kendati mata para pegawai di tempat ini sudah menatapnya dengan puluhan pertanyaan di kepala masing-masing. Mashiro tidak memperhatikan hal itu, ia tetap melangkah masuk menuju meja resepsionis—sebentar ia perbaiki tas yang ada di punggungnya, berusaha tenang meski pikirannya takut diusir dari tempat ini.
"Ada perlu apa, Dek?" Tanya pegawai itu padannya.
"Pak Akihiro Albif, masih ada di kantor gak, Kak?" Tanya Mashiro hati-hati, ia bahkan sedikit gemetar mengucapkan kata itu.
Pegawai itu mengernyitkan dahinya, "Kamu ada perlu apa?" Tanyanya lagi.
"Hiro mau ketemu, ada yang mau Hiro omongin," jawab Mashiro, kesal juga ia harus menyembunyikan identitasnya.
"Oh, udah ada janji temu, ya? Bentar ya, aku coba hubungin dulu," ucapnya sambil mengangkat ganggang telepon, Mashiro memilih memperhatikan pernak pernik yang ada di belakang lobi, termasuk lukisan ikan koi yang terpampang besar di dinding.
"Namanya siapa, Dek?" Tanya pegawai itu sambil menjauhkan telepon itu dari dirinya. Mashiro menelan ludah, ia takut kedatangannya malah menjadi bumerang.
"Mashiro," ucapnya, sengaja dengan menggunakan panggilan sehari-hari, cukup lama ia menunggu hingga pada akhirnya pegawai itu mengangguk—bersedia mengantar Mashiro ke ruang kerja Akihiro.
Dalam perjalanan menuju ruang kerja, ia tidak banyak melakukan apa-apa. Hanya mengikuti langkah resepsionis ini, jantungnya berdetak lebih kencang saat pintu sudah diketuk dan suara dari dalam terdengar, resepsionis itu menyuruh Mashiro masuk. Mashiro menelan ludah, ia mendorong pintu itu lalu kembali menutup saat berada di ruangan, dua meja yang terletak dekat lukisan senja ala Jepang—yang atasnya terdapat tumpukan map dan satunya tertumpuk kertas dan juga kliping-kliping yang sudah jelas belum dibuka.
Matanya tak tertuju pada dua benda itu, kini ia melihat Akihiro masih sibuk di depan komputer, sedikitpun tak menyadari jika seseorang berada dalam ruang kerjanya. Mashiro menelan ludah, ia menatap sedikit takut melihat wajah Akihiro dengan keadaan jidat lipat tiga—Mashiro mengeluarkan udara kecil lewat mulutnya.
"Otousan." panggil Mashiro dengan suara yang pelan. Rungu Akihiro terasa mendengung, suara lembut yang sebenarnya sudah lama tak ia dengar kini ia dengar kembali.
"Saya sibuk, perlu apa?" Tanya Akihiro tanpa melirik sedikit pun ke arah anaknya yang sedang berdiri mematung mendengar jawaban Akihiro.
"Mashiro, mau minta tanda tangan Otousan, boleh?" Tanya Mashiro, ada getar diujung kalimatnya.
Akihiro berdiri menatap Mashiro yang sengaja menunduk, Akihiro berdesis. Melangkah tegas mendekati posisi Mashiro berdiri, setelan tuxedo hitam yang rapi menampilkan bagaimana berwibawa dan mapannya Akihiro. Mashiro mengangkat kepalanya, ia takut melihat Akihiro yang sudah berada di hadapannya.
"Bisa pergi? Kamu nggak lihat, Saya sibuk?" Berdengung seketika kedua telinga Mashiro mendengar jawaban Akihiro, ia terdiam mematung mendengar pengusiran itu.
Mashiro lekas melepas tasnya, ia membuka tas dan langsung mengambil dua kertas keputusan yang diberikan oleh Fee tadi. Mashiro kembali mengambil pulpen, ia lekas berdiri dan memperlihatkan dua lembar kertas itu ke arah Akihiro. Matanya sedikit menyipit saat melihat wajah Akihiro yang masih terkesan galak dan kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASHIRO | OPEN PO
Teen FictionDemi mencari arti dari kehidupan, makna dari bertahan, dan arti dari perjuangan, ia rela bertahan. Mashiro, laki-laki dengan segala kekurangan terbiasa untuk terlihat baik-baik saja, laki-laki yang membawa segala macam beratnya hidup, pahitnya kehid...