04

312 26 18
                                    


   Mashiro melangkah gontai, tanpa dihiraukannya Cyntia bertanya, Mashiro sungguh kali ini tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Pertemuannya dengan Akihiro begitu menyakitkan, Cyntia tertegun melihat Mashiro bersikap acuh dan langsung menaiki tangga—membanting pintu kamarnya. Cyntia menelan ludah, dijenguknya arah luar lewat jendela, mobil Ayana sudah tidak lagi ada, dalam artian Ayana sudah pergi lembur untuk malam ini. Cyntia yang memang lebih suka membaca modul materi kuliah di ruang tamu, sambil bersandar di sofa—biasanya Mashiro menemaninya meskipun kadang Cyntia sibuk dengan apa yang ada di tangannya.

  Cyntia meletakkan modul materi, ia bergegas menaiki tangga, ia membuka pintu kamarnya ia teringat akan sebatang permen yang ada di dalam tasnya. Cyntia lebih dulu mengambil permen itu dan melangkah menuju kamar Mashiro, cukup lama sebenarnya Cyntia berdiri di depan pintu kamar Mashiro sebelum akhirnya berani mengetuk pintu.

"Hiro, ini gue. Lu kenapa?" Tanya Cyntia, tangan kirinya mengetuk pintu kamar Mashiro.

Mashiro mendengar suara Cyntia di balik pintu, "Hiro gak apa-apa, Hiro cuman mau tidur, Hiro capek," ucap Mashiro, menahan getar suaranya.

Cyntia menelan ludah, "Hiro, lu bohongkan sama gue? Hiro, lu cowok, gue yakin lu gak nangis di dalam kamar. Hei, mending buka pintunya, cerita sama gue." Cyntia kembali mengudarakan suaranya, ia masih mengetuk pintu kamar Mashiro.

"Kak, biarin Hiro sendiri." pinta Mashiro lirih, ia bersandar di dinding melipat kedua tangannya, dengan wajah yang menekuk.

  Cyntia langsung lemas, ia mengembuskan napas. Ia pegang erat permen di tangan kanannya, lama ia berdiri di depan pintu sebelun akhirnya yakin bahwa Mashiro benar-benar baik, sementara di dalam kamar—Mashiro memukul dadanya, ada sesuatu yang membuatnya sesak meskipun bukan hal yang terlalu Penting. Mashiro, iri dengan anak-anak yang mempunyai keluarga harmonis, iri dengan anak-anak seumuran dirinya yang masih bermain layang-layang dengan Ayahnya, Mashiro iri akan segalanya.

  Mashiro iri dengan kebebasan beraturan yang diberikan orang tua kepada anak mereka. Membiarkan anak mereka punya pilihannya sendiri, mendukung setiap langkah anak mereka entah dibidang manapun. Bagi Mashiro, apa artinya keluarga? Apa itu kasih sayang? Bagaimana sebenarnya keluarga itu? Ada banyak pertanyaan yang sering lewat dalam benaknya. Yang Mashiro tahu, bahwa keluarga bukan hanya masalah keuangan, bukan masalah perceraian, bukan pula masalah penekanan—keluarga bukan seperti itu, lantas beritahu Mashiro bagaimana suasana keluarga yang sebenarnya (?).

  Mashiro melangkah, tanpa berganti seragam. Anak itu berbaring memeluk guling, berusaha memejamkan matanya meskipun sulit untuk memaksakan diri tidur lebih awal. Mashiro mencoba melupakan perkataan Akihiro yang terus menghantui dirinya, Mashiro menyembunyikan wajahnya di balik selimut, ia benar-benar kecewa dengan apa yang telah terjadi. Menangis bukan lagi sebagai obat terbaik, Mashiro merapatkan matanya—benar-benar memaksa untuk barang semenit pun tertidur dan mampu menghilangkan pikiran yang aneh-aneh, Mashiro yakin, ia hanya merasa bahwa suatu saat ia akan menemukan sayapnya.

• • •

  "Pagi, Mas Hiro!" Mashiro sontak menoleh ke arah belakang, dilihatnya sosok Agita setengah berlari mengarah padanya.

  Mashiro mendengus, tanpa dihiraukannya sapaan dari Agita. Mashiro kembali melangkah, tujuannya kali ini ke ruang dance mengingat jika Fee memintanya menyerahkan surat keputusan sebelum jam pertama. Agita mencebikkan bibirnya, ia lihat dengan saksama tubuh Mashiro dari belakang.

"Ih, Mas Hiro kok gak jawab sapaanku sih? Mas Hiro udah sarapan?" Agita kembali membuka suara, kini tepat berdiri di sebelah kiri Mashiro.

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang