12

275 19 19
                                    

 
    Pagi itu, suasananya ramai akan para pelayat yang membawa duka mereka untuk keluarga yang ditinggalkan. Beberapa kawan lama hingga teman kerja almarhum Ayana datang untuk mengantar Ayana pergi ke tempat istirahatnya yang baru—di sudut ruangan, Mashiro diam, duduk dengan tatapan kosong ke arah kain penutup jenazah Ayana. Ia tidak sama sekali membuka suara sejak kemarin sore hingga pagi ini, rasanya Mashiro tidak waras detik ini—mengingat kepergian Ayana yang tiba-tiba, bahkan Mashiro belum siap mendengar keterangan kronologi bagaimana Ayana bisa tewas karena kecelakaan lalu lintas.

  Akihiro semenjak kemarin, setia menemani Mashiro, kendati dia tidak tahu harus apa yang diperbuat untuk menenangkan diri Mashiro. Bicara saja, Mashiro tidak mau, jadilah Akihiro hanya diam menemani anaknya duduk dengan perasaan yang hancur. Berbeda dengan Cyntia, gadis itu membaca doa sembari menangis tak henti-hentinya, matanya sudah merah dan bengkak—bahkan terlihat pucat sebab kurang istirahat.

  Dalam pikiran Mashiro, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia bingung harus seperti apa sekarang. Mashiro hendak menangis, ia hendak sekali memanggil Ayana dan membaca doa. Tapi, ia tak mampu, bahkan saat melihat jenazah Ayana kemarin malam membuatnya menangis tak henti-hentinya. Mashiro mencoba menerima nasihat para pelayat, bahwasanya ia harus sabar dan ikhlas menghadapi hal demikian.

  Bagaimana caranya ikhlas? Mashiro tidak dapat melakukan semudah menggulung lidah, kenapa manusia mudah berkata meski tak juga dapat melakukannya dengan baik, anehnya perkataan mereka justru semakin menyakitkan hati.

  Sesekali Akihiro berdiri untuk menyambut tamu yang berbelasungkawa, mereka saling bersalaman lalu merangkul dengan mengatakan kekuatan serta ketabahan. Sejujurnya, Akihiro pun tak menduga pertengkaran sore itu, adalah terakhir baginya mendengar suara Ayana, terakhir melihat dan menyaksikan Ayana menangis.

  Akihiro jauh lebih tahu kesalahannya di masa lalu, ia jelas tahu kenapa Ayana memilih mengajaknya bercerai. Bukan karena Akihiro selalu mementingkan pekerjaan ketimbang keluarganya, Sebenernya Akihiro juga mendambakan untuk menemani Mashiro saat dirawat, ia sungguh sangat bersedia mengambil cuti dan menggantikan Ayana.

  Jika, bukan karena tekanan atasan. Saat itu, Akihiro hanya bekerja sebagai karyawan bawahan, gajinya pun tak sebesar gaji Ayana. Setelah perceraian terjadi, Akihiro naik pangkat menjadi seorang Direktur perusahaan—sialnya bagi Akihiro, setelah ia kehilangan keluarganya, barulah ia mendapatkan kelonggaran kerja. Bukan hanya Ayana yang sebenarnya tersakiti atas pilihannya sendiri, Akihiro juga demikian—bahkan ia mencoba untuk terus bertemu Ayana dan membicarakan masa depan Mashiro, jika mereka justru memilih berpisah.
 
  Akihiro menoleh ke arah Mashiro, anak itu duduk bersila menyandarkan tubuhnya dengan dinding. Wajah pucat nan lesu, tidak sedikit saja dapat dilihat oleh Akihiro cahaya yang biasanya terpancar di wajah anak itu. Akihiro kembali duduk di tempatnya, tepat bersebelahan dengan Mashiro—tanpa adanya keraguan, Akihiro mendekap kepala anaknya yang tertunduk berlindung di dadanya, anak itu menangis sejadi-jadinya—getar tubuhnya pun kian terasa.

  Saya minta maaf, Ayana. Saya janji, Saya berusaha menjaga Mashiro—satu-satunya harta kamu.

• • •

  Agita tepat datang saat pemakaman sudah hampir selesai, pasalnya jika bukan karena tetangganya yang baru datang melayat bercerita ke Mama Maya, Agita tidak akan tahu jika ternyata yang berduka adalah Mashiro. Agita ditemani Mahera datang, ia sempat menghampiri Cyntia yang saat itu hanya berdiri melihat saksama jenazah Ayana turun. Saat Agita datang, Cyntia yang memang sudah kenal Agita dan lumayan dekat malah justru menangis sambil memeluk Agita, membuat Agita terkejut bukan kepalang.

  Sepanjang pelukan itu, Cyntia sungguh sempat berkata jika ia tidak tahu harus bagaimana dengan Mashiro. Sekarang, Cyntia justru sangat memikirkan perasaan anak itu, Cyntia juga orang yang akan memiliki tanggung jawab untuk Mashiro. Agita hanya dapat berkata dengan menenangkan Cyntia, beberapa kali Agita mengelus lembut punggung Cyntia, hingga akhirnya—Cyntia dapat tenang dan upacara pemakaman pun berakhir dengan lancar.

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang