11

277 20 6
                                    


   Pagi sekali Mashiro sudah memasang sepatu, Agita tadi malam mengajaknya joging keliling kompleks, atau bisa juga ke Sirkuit Balipat. Kemarin hari Jum'at, libur karena tanggal merah—SMA 1 Binuang memiliki sistem full day, yang mewajibkan hari Sabtu adalah hari libur. Siap dengan sepatu, Mashiro langsung berlari mengidahkan teriakan Ayana yang menyuruhnya sarapan terlebih dahulu.

  Mashiro lekas pergi ke bagasi, ia mengambil sepeda gunung yang sudah lama tidak lagi dipakainya. Selesai dengan sesi itu, Mashiro dengan cepat mengayuh sepedanya—semangat sekali kiranya ia menuju tempat yang sudah disepakati mereka tadi malam, katanya, Agita akan menunggu Mashiro tepat di depan belokan menuju jalan kompleks Cendrawasih. Mashiro sungguh sangat bersemangat, hingga ia sudah berkeringat di wajahnya, bahkan mata Mashiro sudah menyipit melihat Agita melambai-lambaikan tangannya.

  Tidak banyak bicara, Mashiro sudah mengayuh kembali sepedanya, Agita memimpin perjalanan menuju tempat yang sudah ditujukan Agita untuk Mashiro. Kedua sama-sama menaiki sepeda, dan pada pagi ini kendaraan tidak banyak dijumpai, karena sudah menjelang akhir pekan orang-orang sibuk istirahat setelah lima bekerja menghidupi keluarga. Dari kompleks Cendrawasih, untuk menempuh Sirkuit Balipat lumayan jauh, tapi, dengan rasa semangat mereka melupakan keringat yang sudah bercucuran.

"Capek ya kak?" Tanya Agita, sambil mendorong sepedanya untuk menaiki tanjakan, karena Agita memakai sepeda lipat, maka sudah jelas cukup melelahkan jika tetap menaiki sepeda melewati tanjakan.

Mashiro ikut turun, ia lekas mendorong sepedanya agar sejajar dengan Agita. "Hitung-hitung udah termasuk olahraga lho," jawab Mashiro, sembari mengatur napasnya.

Agita tertawa kecil, kemudian jari telunjuknya mengarah ke sisi kanan jalan. "kita udah sampai kak, bentar lagi pintu pagar utama," ucap Agita memberitahu.

  Mata Mashiro langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan Agita, di dalam sana. Terdapat bangunan sepetak yang berwarna-warni, jika dilihat dengan baik-baik, lapangannya cukup besar, pohon-pohon tinggi tumbuh di dalamnya kendati hanya bisa dihitung dengan jari. Mashiro menoleh ke sisi jalan, yakni sebelah kiri—sederet sisi jalan ditanami pohon cemara yang tingginya sudah melampaui tinggi tiang listrik.

  Agita memberitahu Mashiro bahwa mereka sudah sampai, ternyata tidak hanya mereka berdua yang datang ke tempat ini. Ada beberapa remaja, anak-anak dan para lansia yang juga datang—mereka mengobrol berkenalan satu sama lain, ada yang duduk dengan keringat sambil menenggak minuman, ada yang sibuk berfoto bersama temannya. Suasananya benar-benar ramai akan orang yang melakukan olahraga.

  Setelah memarkir sepeda mereka, Agita langsung mengajak Mashiro menuju lapangan balapan. Dan, ia tidak sedikit pun kehilangan pemandangan, dimulai dengan melihat besarnya bangunan tempat penonton, hingga melihat jauh di tengah lapangan, di luar jalur arena balap—tempat itu terdapat tumbuhan yang merambat, hingga hijaunya rumput setinggi mata kaki.

   Agita berlari-lari kecil mendahului Mashiro yang masih memperhatikan sekitar tempat ini, namun saat ia melihat Agita lebih dahulu pergi. Tentu saja lekas Mashiro menyusul, hingga posisi mereka sejajar, Agita tersenyum sambil menyeka keringatnya—dan Mashiro mengetahui satu hal, bagaimana pun keadaannya, Agita tetap gadis cantik di mata Mashiro, wajahnya memang benar-benar candu untuk terus ditatap oleh Mashiro.

"Nggak dimarahi kita ke sini? Kan, biasanya pasti ada yang bertanggung jawab buat jaga ini tempat." Mashiro membuka pembicaraan.

Agita memelankan laju larinya, lalu menggelengkan kepalanya. "Tempatnya nggak beroperasi lagi, setiap Sabtu sama Minggu dibuka buat masyarakat, tapi ya buat olahraga." Agita menjawab dengan santai, bahkan helaan napasnya  terdengar kecil.

"Tempat sebesar ini sayang banget nggak dipakai lagi," ucap Mashiro, bola matanya beralih ke arah lain.

   Agita masih berlari kecil, masih semangat rupanya gadis itu, sementara Mashiro sudah kewalahan, ia sempat berjongkok mengatur napasnya yang putus-putus saking lelahnya. Mereka sekarang tepat di jalur yang sampingnya ditumbuhi rumpun ilalang—Agita berhenti setelah sadar jika Mashiro tertinggal di belakang sana, melihat Mashiro kelelahan bukannya memberi semangat, Agita malah mengejek Mashiro.

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang