15

278 20 1
                                    

   
    Sepulang sekolah, dengan begitu gembira, ekspresi yang cerah seperti biasanya. Agita datang ke parkiran berkata bahwa ia akan pulang dengan Faisal, tentu saja Mahera yang saat itu berbincang dengan Fee terkejut mendengar penuturannya. Fee melihat dengan tatapan biasa ke arah Agita yang tersenyum padanya, kemudian Fee menoleh ke arah Faisal yang sudah menumggang motor PCX miliknya dan siap meluncur sembari menunggu Agita masih berbicara dengan Mahera.

"Maher, adik lu gua ajak makan di pinggir jalan, nggak apa-apa, kan?" Tiba-tiba Faisal memotong pembicaraan, membuat Fee, Agita dan Mahera lekas menoleh ke arah Faisal.

"Awas lu pulang kesorean, besok udah nggak hidup lu!" ancam Mahera, yang sebenarnya mengizinkan apa yang diinginkan Faisal.

Faisal tertawa, memukul lapak di belakangnya. "Aman! Lu tenang aja," sahut Faisal.

  Setelah itu, Agita naik ke atas motor tanpa lupa mengenakan helm yang sering ia pakai, Agita melambai semangat ke arah Mahera sementara Fee hanya menatap tanpa senyum ke arah Agita. Motor pun merayap dengan kecepatan normal, Agita yang dibonceng menahan senyum—ada rasa bahagia yang sungguh menyelimuti hatinya saat ini, Faisal masih sempat menyapa pak satpam sekolah bahkan mereka sempat saling berkomunikasi.

  Dengan iseng, Agita menoleh ke arah belakang. Agita melihat Fee menyerahkan benda kecil kepada Mahera, dari warna hingga segi bentuk Agita tentu tahu benda apa itu. Agita memilih tidak terlalu merasa penasaran dengan hal itu, ia memilih menikmati waktu pulangnya dengan Faisal—menikmati angin sore dengan orang yang berbeda. Motor semakin melaju, dengan sangsi namun terjadi—Agita melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Faisal, itu pun karena saran dari Faisal.
 
  Belasan menit selanjutnya, motor memelankan lajunya, motor berhenti tepat di pinggir jalan. Agita turun lebih dulu, sementara Faisal mencari tempat parkir yang lebih strategis. Agita melepas helmnya begitu juga dengan Faisal, selesai dengan sesi itu keduanya berjalan menuju meja yang kosong. Jadi, Agita ditraktir makan—Faisal sengaja memilih makan olahan ala pedagang kaki lima, selain rasanya mendukung sajian dan tampilan makanan masih tradisional, tidak seperti di restoran yang sama menu makanannya tapi justru beda rasa.

"Mie ayam paling enak kalau pedas," pungkas Faisal, sembari mengaduk miliknya.

Agita yang sudah lebih dahulu mengaduk makanannya langsung menoleh ke arah Faisal. "Iya enak, tapi aku nggak suka pedas kak," ucap Agita.

"Masa? Bah... Payah, lu nggak pernah ngerasain gimana deritanya mencret dua hari dua malam!" setelah berucap Faisal langsung menyuap mie berserta kuahnya.

Agita menahan tawa, kali ini ia berusaha berubah jadi gadis kalem. "Kak! Orang lagi pada makan loh, malah ngomong gitu." tegur Agita.

"Biarin, yang bacot mulut gua, yang denger kuping mereka," ucapnya, sembari sesekali mengunyah.

"Kalau mereka tiba-tiba geli dan nggak napsu makan gara-gara ucapan kakak gimana?" Agita mengajukan pertanyaan, setelah berhasil menelan kunyahannya.

"Ya salah mereka, kalau nggak dimakan rugi sendiri, boro-boro pesan," jawabnya, acuh sembari menyuap kembali mienya.

  Agita tersenyum, Faisal sungguh orang yang asyik yang telah dimilikinya meskipun Agita tidaklah tahu bahwa semuanya hanyalah titipan. Agita memberikan setengah mie miliknya, membuat Faisal bingung sendiri—hingga akhirnya Agita berkata jika porsinya kebanyakan. Alhasil, Faisal mencubit pipi Agita dengan gemas, membuat empunya malu setengah mati—apalagi melihat pembeli lain sempat mempertanyakan dirinya.

  Selesai dengan sesi makan di pinggir jalan, Faisal sempat mengajak Agita duduk bersantai di ujung senja. Agita bersandar di bahu Faisal, keduanya saling bercerita—menyaksikan matahari kemarau lambat laun meninggalkan langit yang terlihat muram, Agita dengan sisa cahaya matahari, berusaha tidak mengingat kenangan apapun dengan Mashiro. Agita, hendak belajar melupakan meski baginya tak mudah dilakukan.

MASHIRO | OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang