Agita membuka lemari, hari ini, ia ada jadwal olahraga. Dan sekarang pun, Agita hendak mengambil seragamnya, namun ia justru terdiam. Seragam milik Mashiro yang pernah ia pinjam rupanya lupa ia kembalikan—Agita lekas mengambil seragam itu, diambilnya paper Bag yang sudah tidak lagi dipakai Agita, kendati sekarang ini Agita berusaha menjauhi Mashiro, tapi, bila barang orang lain ada padanya maka mau atau tidak Agita harus mengembalikannya.Selesai dengan kegiatan itu, Agita langsung menyusul Mahera yang rupanya sudah menghidupkan mesin motor. Agita bergegas memasang sepatunya, Mama Maya sudah pergi lebih pagi karena pekerjaan ke luar kota—selesai dengan itu, Agita memasang helm dan langsung ke atas motor. Detik selanjutnya, perjalanan ke sekolah terasa lancar tanpa macet serius.
Sebelum motor menyeberang jalan, Agita melihat Mashiro diantar dengan pak satpam. Karena jendela mobil tidak ditutup, tentu saja Agita dapat melihat Mashiro dan Risa sedang sarapan bersama di dalam mobil itu, rupanya Risa membawa sarapan di bekal yang memang untuk dinikmati dengan Mashiro. Panas rasanya mata Agita, cemburu dalam ia melihat pemandangan itu—Agita memalingkan wajahnya saat menyeberang.
Saat itu juga, mobile ditumpangi Mashiro pergi lebih dulu, Agita berharap bahwa ia tak akan begini. Tapi, entah bagaimana ia menata perasaannya, sulit, sulit, sungguh sulit! Bahkan, kendati Agita keras untuk menipu diri, justru hal itu semakin menyakitkan. Sibuk dengan pikirannya, Agita tak sadar jika sudah berada di parkiran, menyadari akan hal itu—seperti biasa Agita pasti melepas helm sembari tersenyum lebar meninggalkan Mahera.
Agita tetap memilih menipu mata orang lain, seolah baik-baik saja. Agita berlari-lari kecil menuju kelasnya, ia dengan sengaja sok sibuk dengan senandungnya saat kembali melewati Mashiro dan Risa yang sedang pergi menuju kelas. Agita mengira jika apa yang ia lakukan akan membuatnya cepat menghindar dari Mashiro, justru rupanya pemikiran itu salah.
Agita hampir jatuh, saat tas punggungnya ditarik oleh Mashiro, sungguh saat Agita dengan cepat menoleh, ia melihat senyum Mashiro, entah mengejek atau apa, Agita juga tidak paham. Jantung Agita berdegup kencang, cengkraman Mashiro masih kuat dan memaksa mendekat, semenjak tadi juga—mata Risa mendelik dan berusaha menarik tangan Mashiro dari tas Agita.
"Sini dulu, kamu kenapa sih? Tiba-tiba begini?" Pertanyaan Mashiro berdengung dalam telinganya.
Kenapa? Jelas aku berusaha jauh-jauh dari kamu kak, aku coba ngikutin kemauan kak Cyntia! Agita membatin, bahkan ia mencoba melepaskan diri dari Mashiro dan juga tatapan Risa.
"Hiro, udah biarin dia pergi. Udah tahu dia nggak setia kawan sama kamu," ucap Risa, posisinya lebih dekat dengan Mashiro.
"Agita, kalau ada masalah jangan gini, omongin baik-bai—" ucapan Mashiro terpotong saat Agita menarik paksa tasnya dari tangan Mashiro.
"Tolong kak, jangan ganggu, aku mau fokus belajar," ucap Agita dingin, dengan sengaja bahkan Agita mencoba membuang muka.
"Aku salah apa sih?" Belum sempat berbalik badan, pertanyaan dengan nada tinggi dari Mashiro memekikkan telinga.
Agita terbawa emosi, ditatapnya tajam mata Mashiro. "Dari awal aku udah pernah bilang sama kamu, aku suka sama kakak! Dari awal kak Hiro juga tahu itu, sekarang kakak sama masa lalu kakak. Buat apa kita temanan lagi? Kalau sekarang udah ada yang penting! Udah ada prioritas!" suara Agita meninggi mengundang anak-anak di sekitar itu langsung menoleh dan menonton pertengkaran mereka.
Mashiro mendengar dengan jelas suara Agita, terutama ketika Agita berucap perihal masa lalu, yang sebenarnya ia tutupi rapat siapa sosok yang disukainya dahulu. Mashiro sempat terdiam, lalu tertawa paksa kembali menatap Agita yang justru bernapas besar menghadapi Mashiro.

KAMU SEDANG MEMBACA
MASHIRO | OPEN PO
Teen FictionDemi mencari arti dari kehidupan, makna dari bertahan, dan arti dari perjuangan, ia rela bertahan. Mashiro, laki-laki dengan segala kekurangan terbiasa untuk terlihat baik-baik saja, laki-laki yang membawa segala macam beratnya hidup, pahitnya kehid...