11. Langit abu-abu.

387 56 1
                                    

-
___

Kalau tidak ada dari mereka yang mau mendengarkan, maka biar kita berdua saja yang saling berbagi cerita.

___
-

Bagi Leo, sesak yang seringkali di rasanya tidak akan berarti apa-apa kalau pusat lukanya justru ada pada punggung sulung yang saat ini betulan terlihat rapuh.
Satu jam yang lalu, tepat setelah gerbang sekolah terbuka tanda usai waktu belajar. Leo yang berjalan lesu mendadak kembali sumringah melihat kakaknya sudah menunggu dengan tenang di dekat gerbang, dengan merengut mau beri banyak protesan atas Sagara yang melarikan diri dari janji taruhan mereka pagi tadi, setidaknya mau menghadiahkan satu tinju kecil atau sentilan di dahi yang lebih tua. Tapi begitu berhadapan, senyum Leo perlahan pudar.

Waktu kakaknya tanpa aba-aba beri pelukan, waktu si sulung memberikan helm setelah erat dekap tanpa bicara yang berlangsung sampai lima menit lamanya sudah usai.

Leo mau bertanya, tapi ketika laju motor kakaknya tidak berada di jalan menuju kawasan rumah, bungsu tau. Sedang terjadi sesuatu.

Jadi saat ini, ketika kendaraan sang kakak semakin melaju cepat, Leo genggam erat kemeja di bagian bahu sebelum kepalanya mendongak menatap langit abu-abu.

"Abang-"

Sulung tidak menyahut apa-apa, netra legamnya cuma melirik sekilas melalui kaca spion, melihat jelas sudut bibir adiknya yang tertarik keatas, belah bibirnya yang terbuka membentuk cengiran lebar waktu satu tangan si bungsu yang bebas melambai lepas di atas kepala, menikmati hantaman angin pada telapaknya.

"Kita mau keluar dari rumah ya?" Binarnya tidak juga redup, pun ketika sudah tau laju sulung saat ini sebenarnya tidak memiliki tuju.

"Iya." Jawaban seadanya di berikan ketika Sagara juga ikut menyunggingkan senyuman, sekali lagi dia menaikan kecepatan semakin laju demi membelah jalanan kota yang untungnya sedikit senggang.

Ada celah untuk mereka melintas jadinya.

Berjam-jam di habiskan menyusuri jalanan, ketika pada akhirnya motor Sagara di parkir di depan pintu masuk tempat liburan.

Leo garuk kepala dengan kerutan kening yang begitu kentara, tatapnya penuh sirat bertanya pada Sagara yang ikut turun dengan mencabut kunci motornya.

"Ngapain kepantai?" Leo mencibir tapi Sagara membalasnya dengan decihan.

"Mau naik gunung tadinya, tapi kita nggak ada perlengkapan."

"Loh, kepantai gini juga nggak ada baju salinan bang."

Sagara pamerkan senyum kemenangan begitu dia mengeluarkan dompet kesayangannya.
"Duit pendaftaran sama semua pembayaran buat perlengkapan futsal gue nih."

"Bego! Terus nanti lo turnamen gimana?"

Sagara diam sebentar, kemudian jari-jarinya mengetuk dagu dengan raut acuh tak acuh.
"Kalo kita nggak balik ke rumah lagi, berarti gue nggak harus ikut turnamen kan?" Tawa jenaka melambung waktu adiknya pancarkan raut tidak percaya.

Daripada si bungsu banyak bicara dan memenuhi isi kepala dengan segala pertanyaannya, Sagara begitu saja menarik tanganya untuk segera memasuki pantai.

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang