-
___Dan apakah seribu maaf mampu sembuhkan luka yang sudah ibu torehkan?
-
____Bunyi derit kayu dari pintu kamar yang ibu buka memecah sunyi tengah malam, Dinar melangkah gontai, tungkainya berhenti di dekat meja kecil si bungsu, tempat dimana putra kecilnya menghabiskan hampir seluruh waktu demi ambisi yang hanya sebatas satu rengkuh. Tidak bohong, keadaan Dinar saat ini begitu buruk, wanita itu hampir hilang akal begitu sadar akan semua hal yang sudah dia lakukan.
Putra bungsunya meninggalkannya, putra sulungnya juga tidak lagi mau menatapnya, meski mereka masih berada di atap yang sama, atensi sulung seolah tidak bisa dia jumpai. Dinar merasa kehilangan semuanya.
Malam itu sebelum dia menyadari segalanya, usai dia memukuli si bungsu dengan membabi buta, Dinar ikut berlari keluar. Berkendara dengan pikiran hampa, mengikuti perginya mobil yang membawa kedua putranya. Lantas rumah sakit pusat menjadi tujuan mereka, Dinar ikut mengekor, melihat dengan jelas bagaimana Sagara mengamuk dalam rumah sakit ketika dokter terlampau lambat untuk menangani adiknya, melihat bagaimana Leo yang gemetar ketakutan meski sudah dalam genggaman dokter. Dinar melihat semuanya, pun Sagara yang hampir meraung, menangis sepanjang malam dengan tangannya yang ikut menampilkan bercak darah, mungkin itu dari ceceran darah Leo yang tidak berhenti keluar dari hidungnya. Lantas menghabiskan sepanjang malam menyesali semuanya, Dinar menangis sejadinya begitu kembali ke mobilnya.
"Apa yang aku buat?" Isi pikirannya saat itu dan sampai sekarang, masih sama. Masih tentang menyesali semuanya.
Tangannya membuka laci lemari meja Leo, tumpukan buku-buku hal utama yang menyambutnya. Dinar sangat ingat bagaimana dia yang selalu mencerca Leo dengan kata-kata merendahkan seperti betapa bodohnya di bungsu, Dinar juga belum lupa perihal tingkahnya yang tidak pernah bisa terima hasil yang Leo dapat, meski salahnya cuma secuil, Dinar jadikan itu alasan untuk selalu memarahinya. Entah sejak kapan, dia merasa hadir si bungsu hanya kesialan, hadirnya Leo cuma untuk dijadikan lampiasan sakit kepala, lelah atau apapun selain kasih sayang.
Lantas begitu menyadari semuanya, Dinar paham dirinya sudah terlambat.
Akan semua hal yang dia perbuat.
"Sayang."
Sapa lembut dari depan pintu tidak juga membuatnya bergeming, Dinar enggan menoleh melihat suaminya yang mulai mendekat.
"Kenapa masih nangis? Udah saya bilang nggak usah di pikirin, anak itu juga emang seharunya dari dulu pergi aja kan?"
Satu hal lagi yang di pahaminya, entah kenapa suaminya saat ini terlihat seperti monster.
"Dia anak ku, mas."
Hela nafas kasar menjadi jawaban, ayah menyingkirkan buku-buku Leo yang masih ibu pandangi di atas meja, tatapannya tidak lagi menenangkan dia menekan bahu Dinar dengan cukup kuat.
"Kembali ke kamar, ya. Udah malem kita harus tidur."
"Mas, aku mau tidur disini ya?"
Sadar akan tatapan ayah yang semakin menajam, Dinar mencoba melarikan diri dari jerat suaminya sendiri.
"Dinar, tidur di kamar nggak perlu lagi kamu masuk ke ruangan kotor ini." Kalimat demi kalimatnya penuh tekanan, sejatinya takut tapi sekuat mungkin Dinar mencoba melawan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)
Fanfic[Nomin - Brothership] "Kita itu sama, sama-sama di hancurkan oleh harapan, kamu yang berharap ke bebasan, aku yang berharap kamu bisa untuk terbang." Karna kamu adalah semestanya, yang dia genggam dalam kerapuhan, yang dia dekap di penghujung malam...