19. Satu hari lagi.

617 54 0
                                    

Sagara jelas tau, puluhan panggilan tak terjawab yang muncul di layar ponselnya sudah pasti mau menanyakan tentang apa yang terjadi terakhir kali. Panggilan yang banyak di dapat dari ibu, atau rekan kerja ibu. Laki-laki itu mendecih, mengabaikan benda pipihnya yang sekali lagi berdering.

Saat ini langit hampir menggelap, dia dan adiknya memilih tidak kembali ke sekolah, Isa yang di jadikan tumbal untuk menyembunyikan tas Leo yang terlanjur sudah ada dalam kelas saja tidak berhenti mengirim pesan umpatan pada si empu yang tertawa konyol.

Dua kaleng cola di sodorkan Leo yang mulai menghampiri kakaknya, bagian atap bangunan usang mereka jadikan tempat pelarian, bangunan yang tidak bisa di jamah oleh banyak orang, sementara dari atas sini, keduanya bisa dengan jelas menikmati pemandangan di bawah mereka, menatapi dengan jelas orang-orang bertingkah disana. Lega, Leo yang sudah berhenti meminta jawab sebab apa kakaknya berkelahi dengan ayah juga merasa lega, seperti merasa telah melupakan segala resah yang cukup lama mereka tampung, melihat bagaimana laki-laki paruh baya yang merangkap sebagai ayah tiri mereka kelimpungan menanggapi banyak awak media, Sagara mendesah puas.

"Maaf," Lantas gumam pelan menjadi awal pembicaraan.

Leo menoleh, sejenak menatap kakaknya yang memandangi langit sambil mengukir senyum, usai muntahkan kalimat maaf yang tidak tau mengarah kemana.

"Kenapa minta maaf?"

"Banyak, gue perlu minta maaf banyak sama lo." Tanpa mengalihkan pandangan, Sagara hembuskan nafas pelan sebelum melanjutkan.
"Dari dulu, gue selalu tau perlakuan buruk gimana yang lo terima, tapi gue tinggal diem, gue tau yang lo mau itu ibu sama papa, tapi gue nggak bisa apa-apa. Pun sekarang, gue ngerasa ngejauhin lo dari ibu."

Kekeh lemah Leo, menjawab resah kakaknya, bungsu menenggak colanya sejenak sebelum memberi tinju main-main di bahu sulung.
"Banyak yang lo lakuin bang, sampe sekarang, harusnya gue makasih karna masih ada lo yang nggak pernah ninggalin gue."

Satu fakta yang Leo tau, selama ini yang dia punya cuma Abang.

"Gue mukul ayah, karna ibu."

Kembali pada pembicaraan yang sangat Leo inginkan, dia memberikan fokus sepenuhnya pada kakaknya yang mulai gusar.

"Semalem, gue lihat dia berantem sama ibu."

"Ayah?"

Sagara mengangguk lemah.
"Bajingan itu mukul ibu, gue rasanya mau ngamuk malem itu juga, dia cuma orang yang beruntung ibu cintai setelah papa, kenapa dia berani nyakitin ibu. Leo, gue nggak terima,"

Leo mengangguk, mengusap punggung kakaknya, berusaha memberi afeksi penenang untuk kakak yang semakin gusar.

"Setelah apa yang dia lakuin ke lo, dia juga berani main tangan sama ibu. Maaf Leo, gue mukul ayah."

Tapi biar bagaimanapun Sagara mencoba membenarkan, dia jelas ingat, Leo tidak suka dia yang kerap kali berkelahi dengan orangtua.

"Gue nggak marah." Di tepuknya bahu Sagara sambil mengukir senyum.
"Tapi hari ini, gue nggak mau pulang ke kontrakan Isa lagi."

"Leo,"

"Kalo ayah nggak suka, kan ada lo, kalo ibu mukul gue lagi, disana juga pasti ada Abang kan?" Leo menyela sebelum Sagara menyanggah.

Sagara pijat kening sambil tundukan wajah, menghindari tatap mata dengan adiknya yang memancar harap begitu besar.
Sulung mendengus, membiarkan adiknya menyandarkan kepala pada bahunya, membiarkan suasana hening sementara waktu bersamaan dengan cahaya jingga yang mulai datang membawa pergi matahari dari singgasananya.

"Kalo nggak pulang, gue malah makin ngerasa di buang." Pada akhirnya, Leo buka suara.

"Lo nggak pernah di buang!"

"Mangkanya, gue mau pulang."

Bayangan Leo yang gemetar terakhir kali mampir lagi dalam pikiran Sagara, ibu yang memukuli adik bagai orang kesetanan, pun ayah yang cuma menyaksikan sambil sesekali menikmati secangkir kopinya, memenuhi isi kepala Sagara. Kalut, takut, tapi juga ingin mengiyakan mau si bungsu.

"Oke kita pulang," tapi Sagara bisa apa kalau netra kembar adiknya terus saja memancarkan harapan.

Bisa gila.

Menghabiskan sisa cola mereka kemudian bangkit, sudah cukup melepas segala lelah hari ini, atap kosong sudah menemani mereka seharian.

Sagara mengambil alih kemudi, mengabaikan adiknya yang bersikeras mau dia saja yang mengendarai motornya.

Kemudian malam itu, dengan Leo yang kalah berdebat, pada akhirnya membiarkan kakaknya mengendarai motor mengelilingi kota, tidak pulang kerumah, tidak juga mengantarnya ke kontrakan Isa. Hanya berkendara tak tentu arah, membiarkan tangki bensin Leo tandas. Pun ketika si bungsu menghadiahi dia dengan pukulan di tengkuk, Sagara cuma berikan kekehan.

Sulung, masih belum mau pulang.

_____________________________

"Dari awal menikahi kamu, saya nggak pernah menyukai anak-anak mu!"

Dinar duduk diam di ruang kerja suaminya, kepalanya tertunduk, kedua tangan saling bertaut sementara suaminya terus saja membentaknya.

"Kamu yang mengeluh perihal anak bungsu mu, lalu kamu yang meminta saya mengabaikan saja atensi anak-anak mu, dan sekarang kamu menyalahkan saya karna saya memukul Sagara? Kamu sendiri yang meminta saya nggak perlu menghargai mereka, Dinar!"

Tepat setelah nadanya menggema, suara tamparan terdengar tidak kalah kuat, Dinar bangkit begitu tidak lagi bisa menahan emosi, pandangannya nyalang pada suaminya yang menggeram.

"Perhatikan kelakuan mu, Dinar."

Kedua mata wanita itu memerah, kecewa tersorot jelas dari pijarnya yang belum lepas menatap suaminya.
"Saya nggak pernah memintamu menyakiti putra saya!"

"Bukannya kamu selama ini diam, setiap kali si bungsu itu saya pukuli?"

Dinar meremat kuat kedua tangannya, perasaan menyesal datang lagi seolah menggerogoti diri, perkataan suaminya telak menamparnya.

"Tapi nggak dengan Sagara."

"Apa bedanya? Mereka berdua putramu, dan saya nggak suka mereka!"

Pijak Dinar melemas, tubuhnya kembali terduduk di atas sofa, kalah dengan pandang tajam suaminya yang seolah membunuhnya.

"Kamu nggak perlu bertingkah seolah ibu yang baik di depan saya, sementara selama ini kamu sendiri merasa terbebani dengan adanya mereka."

Kenyataannya memang seperti itu, Dinar selalu menolak atensi Leo apapun itu, hal kecil selalu dia jadikan kesalahan supaya bisa melampiaskan emosinya, entah itu perihal pekerjaan atau apapun. Dinar bahkan dengan tegas memerintahkan Leo untuk mengakhiri hidupnya, Dinar terang-terangan membenci putra bungsunya. Pun sulung, selama ini anak itu hanya dijadikan objek kepuasan untuk memiliki hal sempurna yang bisa di jadikan penerus perusahaan. Dinar tidak pernah bertanya apa yang Sagara suka, apa yang Sagara inginkan, Dinar tidak pernah tau bagaimana sulung menyimpan perasaannya. Wanita itu hanya terobsesi dengan kesempurnaan, pada akhirnya menghancurkan segala hal yang dimilikinya.

Rasanya terlambat jika menyesal sekarang, kedua putranya sudah semakin tumbuh tanpa disadarinya.

Bulir airmatanya jatuh lagi, di tinggalkan sendirian oleh kedua putranya, Dinar pada akhirnya merasa kehilangan, pun tidak ingat sudah berapa banyak dia menangis belakangan ini. Bayangan bayangan masa lalu seolah seperti kaset rusak yang terus saja berputar di kepalanya, Dinar seakan kembali pada saat dimana egonya belum di mulai, saat kaki kecil Sagara mengisi kehangatan rumah, saat tangan kecil Sagara mengusapi perutnya yang membesar kala ia mengandung si bungsu, saat semuanya belum dia hancurkan.

Kemudian begitu suaminya memilih meninggalkan ruangan, dia kembali meraih ponselnya, menekan satu panggilan lagi pada Sagara, harapnya cukup sederhana, untuk saat ini dia cuma ingin kedua putranya kembali kerumah, Dinar mau memperbaiki semua yang sudah di rusaknya.

TBC.

Ps. Jangan mengharapkan apapun di bagian akhir nanti.

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang