02. Rumah, untuk kita berdua.

730 87 12
                                    

-
___

Begitu bulan mulai menggantikan peran, yang di butuhkan cuma tempat untuk tinggal, tempat berteduh paling nyaman.

___

-

Netra biru yang sejak dulu selalu Leo puja, saat ini pancarkan raut kekecewaan yang begitu kentara, buku-buku jarinya memutih seiring kepalan tangan pada kertas ujian makin menguat, sementara di sebelahnya ayah juga berikan raut yang sama.

Hampir lima menit dia di tenggelamkan dengan pandang mematikan, begitu ibu buang muka seolah tidak lagi sudi menatapnya, ayah ambil langkah untuk bangkit. Tepat ketika berhadapan Leo pejamkan sepasang netranya, lantas sesuai dugaan bunyi nyaring memenuhi ruang keluarga bersamaan dengan rasa panas yang mendera pipinya, dengan itu emosi ayah di luapkan, nafasnya yang berhembus tidak beraturan menunjukkan sebanyak apa dia kesal.

Wajah Leo tertoleh cukup kuat, tapi anehnya Leo justru merasa sakit di tempat yang berbeda.

"Kamu puas dengan hasil ini?" Begitu ranumnya mengeluarkan kalimat penuh penekanan dengan sorot yang belum berubah, masih tajam seolah memang berniat membunuhnya dengan satu tatapan.
"Puas dengan coreng merah di kertas mu? Sudah bagus menurutmu?"

"Tapi Leo sudah berusaha, ayah."

Harusnya bisa menyangkal, memberi jawaban meski sekali saja, jawab kalau Leo sudah mencoba. Mencoba seperti Abang, berusaha supaya bisa berdiri beriringan dengan Abang, Leo sudah melakukan semuanya, meski harap untuk satu ucapan selamat dengan dekap hangat orangtua selalu sia-sia.

"Harusnya kamu tinggal saja dengan papa mu itu! Kamu bodoh, tidak pantas tinggal disini! Kamu bahkan tidak bisa seperti Abang mu!"

Kalimat demi kalimat yang keluar dari ranum ibu serupa sebuah belati yang melayang bebas, menancap di dadanya lantas nyeri terasa begitu kentara, sekali lagi di buat sakit.

"Leo, bukan Abang-"

Plak!
"Jangan menjawab!"

Salah lagi.

Kata demi kata yang mau dia keluarkan akhirnya kembali tertelan dalam tenggorokan, Leo tundukan wajah dengan lidah yang di gigit sekeras mungkin, berusaha tidak membantah, berusaha tidak bicara apa-apa. Sebab satu ucapannya hanya akan menjadi kesalahan.

"Perbaiki nilai mu! Lihat Abang mu, dia bisa dapat nilai sempurna sementara kamu justru jadi orang tolol!"

Padahal Leo cuma buat satu kesalahan, padahal Leo cuma melewatkan satu hal.

Padahal Leo tidak sepenuhnya gagal.

"Masuk kamar! Tidak ada makan malam, dan jangan keluar kamar hari ini, ibu malas liat wajah pecundang."

Lantas Leo bisa apa selain menganggukkan kepala? Bisa apa selain membawa tungkainya mundur? Ambil langkah hati-hati meninggalkan ruang keluarga dan kedua orangtuanya disana.

Dia bawa kakinya melangkah memasuki kamar seiring sakit itu yang semakin mendera dadanya.
Apa yang salah kalau dia tidak bisa menyamai Sagara, apa yang salah kalau dia cuma tertinggal satu langkah, apa yang salah kalau dia mengharapkan setengah jam tadi di habiskan dengan sambutan ceria, penuh kehangatan dengan kata selamat yang terselip untuk hasil yang dia miliki.

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang