24. Emosi yang menyatu.

342 39 4
                                    

-
____

Ada masa dimana kita harus menerima fakta tentang mimpi yang tidak selamanya indah, tentang harap yang tidak selamanya bisa di gapai.

Meski pintanya sangat sederhana, tapi luka menghalanginya dengan begitu hebat.

____
-

Berjuta-juta kali Sagara pernah membujuk Leo untuk pergi, berjuta-juta kali Sagara pernah berjanji akan mewujudkan segala mimpinya jika dia ingin melepaskan semua duri yang di rengkuhya.

Tapi Leo tetaplah Leo, laki-laki dengan segala luka yang masih bertahan dengan harap sederhana, laki-laki yang masih percaya kalau balas indah akan dia dapati nantinya.

Harapnya yang tidak seberapa, inginnya yang bahkan sebenarnya sangat mudah untuk di berikan, lagi-lagi membawa dia justru tenggelam dalam ruang pesakitan, dalam tubuh ringkih yang kembali mendapat corak kebencian.

Gemetar tangannya sebagai bentuk dari kalutnya pikiran dan hati, satu dua kali Sagara akan mendesis lirih lalu bulir air jatuh lagi membasahi pipi. Satu dua kali bola matanya bergulir menatap ruang darurat yang masih tertutup rapat lalu kemudian berujar menyedihkan, kenapa selalu adiknya yang di jadikan kesalahan.

Pun Isa dan Haksara yang menemani tidak bisa berbuat banyak selain memberi usapan-usapan di punggung si sulung yang sudah tidak lagi memiliki ambisi. Mereka tau kata yang mereka keluarkan tidak akan berarti apa-apa di tengah kacaunya perdebatan isi kepala Sagara, suara-suara lembut dengan berbagai kalimat penenang tidak akan berguna untuk jiwa Sagara yang tengah melayang-layang di ambang emosi, kecewa, sakit, sedih, marah. Campur aduk diantara tetes airmata yang jatuh lagi.

"Kalau aja, gua nggak ninggalin dia." Seperti kaset rusak, Sagara mengulang-ulang kalimat itu entah sudah yang keberapa.

Isa pejamkan mata, beri pelukan ringan sambil mengguncang bahu si teman supaya dia tetep tegar. Haksa pun sudah bangkit dari sisinya, berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang menatap tajam lorong rumah sakit begitu rungunya mendengar langkah pasti dari sepatu kualitas mahal, ketukan langkahnya terdengar angkuh, terburu-buru seiring dengan deru nafas yang perlahan masuk samar-samar dalam pendengaran.

"Leo.. Leo.."

Sagara bulatkan mata terkejut setelah suara itu, mendongak untuk menatap wajah yang sudah memerah dengan penampilan yang sedikit berantakan, kaus kasual di padu celana bahan dengan warna terang bukan gaya ibunya sekali, wanita itu jelas biasanya akan meninggalkan rumah dengan penampilan yang bisa menekan semua orang di hadapannya.

Tapi saat ini yang bisa di banggakan dari tampilan angkuhnya hanya sepatu heels mahalnya.

"Ngapain?" Alih-alih memvalidasi ibu yang jelas Sagara tau wanita itu sedang kalut, Sagara justru patahkan atensinya.
Tanyanya begitu jelas, untuk apa wanita itu disini? Untuk apa ibu yang biasanya gemar menghancurkan Leo justru datang dengan nafas tersengal menyebut nama adiknya berulang-ulang.

Basi.


"Sagara, adik kamu kenapa? Ibu dengar dari bibi di rumah Leo pingsan lagi?"

Pingsan lagi? Apa ibunya berpikir kalau adiknya yang kerap kali tak sadarkan diri adalah satu hal yang membebani? Kenapa tanyanya seperti itu? Kenapa kalimat yang keluar kembali menyakiti Sagara yang masih setia menahan diri untuk adiknya? Padahal satu-satunya alasan Leo sering terpuruk sendirian adalah mereka para orang tua yang gemar mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajahnya dengan ribuan kata-kata menyakitkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang