20. All the kids are depressed

931 78 8
                                    

-
_____

Seolah dunia hanya memberitahuku untuk menyerah, hanya ada kegelapan sampai akhir.
Di ujung jalan ini kemana aku harus pergi?
Harus menjadi apa? Aku sudah kewalahan, nyaris menjadi bukan diriku sendiri.

Ateez - Turbulence

_____
-

Hampir tengah malam, Sagara putuskan menuruti mau si bungsu untuk pulang, mesin motornya dia matikan waktu Leo sudah lebih dulu turun untuk membalas sapa dari satpam rumah mereka yang kentara sekali rindunya. Katanya risau, sebab terakhir kali sebelum Leo tidak lagi pulang, satpam itu jelas menyaksikan Leo yang hilang kesadaran dalam dekap kakaknya yang kelabakan.

Jadi sekarang, langkah mereka tampak ragu mengitari rumah yang masih sepi, Sagara hidupkan saklar lampu, menyadari kalau orangtuanya mungkin tidak ada di rumah malam ini, dengan itu nafas leganya berhembus.

Leonandra dengan binar senang dan dengungan rindu yang dia keluarkan di setiap deru nafasnya mampu membuat Sagara sunggingkan senyum lebar, bungsu berjalan menuju dapur, katanya lapar, sambil meminta kakaknya menunggu dia mau buat semangkuk Indomie untuk menemani mereka malam ini.

Sagara sejenak memasuki kamarnya, melempar asal tas di atas ranjang, kemudian mengganti seragam yang sudah seharian dia pakai, tubuhnya sudah gatal, tapi masih enggan mengguyur badan. Malas.

Dengan gitar kesayangan yang sudah ada dalam genggaman, Sagara kembali turun, menunggu adiknya di halaman belakang, tempat ini selalu menjadi kesukaan mereka kalau dirumah tidak ada siapa-siapa, terasa menenangkan kala cahaya bulan langsung menyoroti mereka yang kadang duduk disini sebab kehilangan arah.

Sagara jelas tidak tau apa yang akan dia lakukan kedepannya, ponsel adiknya siang tadi sempat dia curi tanpa sepengetahuan empunya, sulung sempat memeriksa semua isi pesan yang di dominasi oleh papa kandung mereka, isinya cukup sederhana, masih sama, pinta akan Leo untuk datang membawa uang, atau memaki Leo yang tidak pernah lagi membalas pesannya.

Sagara hembuskan nafas gusar sebelum hanyut dalam permainan gitarnya, lucu sekali menurutnya, orang-orang dewasa hanya senang menuntut, memaksa mengikuti jalan seperti apa yang mereka mau, kalau tidak menuruti, maka semudah itu akan di buang.

"Udah jam segini nggak baik makan mie banyak-banyak, jadi gue cuma buat satu bungkus doang."

Leo yang tertawa ringan menghampiri kakaknya dengan semangkuk mie di tangan mengundang kekeh dari yang lebih tua.

"Padahal bisa minta bibi, masakin yang lebih enak."

"Udah malem, nggak enak bangunin orang tidur."

Sagara mengangguk kecil, tidak berniat memprotes seruan adiknya.
Jemarinya perlahan mulai menari di atas senar gitar, menikmati bagaimana adiknya larut dengan makanannya, pun sesekali si bungsu akan menyodorkan sesuap mie yang di tolak oleh Sagara. Katanya tidak lapar, padahal dia hanya merasa mual akibat pusing yang mendera kepalanya berlebihan. Tidak di pungkiri, Sagara ketakutan dari tadi, takut barangkali ibu atau lebih buruknya lagi, ayah akan pulang malam ini. Mendapati mereka, mendapati Leo yang jelas cuma akan membuat laki-laki tua itu muntahkan amarahnya.

"Gue sering liat ibu di sekolah."

Sagara tersentak, menghentikan permainan gitarnya untuk berikan fokus penuh pada Leo yang usai menghabiskan makan malamnya.

"Kadang ketemunya sama Isa, kadang sama lo, kadang juga sama kak Haksara. Tapi yang paling sering gue liat, lo selalu berantem sama ibu setiap ibu dateng." Leo putar tubuh, sepenuhnya menghadap pada kakaknya yang mendadak Kelu.
"Seniat itu kalian ngehindarin gue dari ibu."

"Maaf," Sagara meletakan gitarnya di sisi tubuh, menundukkan wajah dengan satu tangan adiknya dia bawa kedalam genggaman. Menghela nafas dalam ketika adiknya memainkan jemarinya, seolah menguatkan sulung yang masih di kabuti oleh kalut.
"Gue takut Leo, gue takut ngelawan mereka sebenarnya, yang gue bisa cuma jauhin lo supaya nggak lagi di lukain."

"Makasih," tidak ingin membuat kakaknya semakin di timpa gugup, Leo menyudahi pembicaraan mereka, sebelah tangannya yang tidak di genggam sulung dia gunakan untuk mengusapi surai Sagara yang masih tertunduk.
"Habis ini, kita hadapin sama-sama."

Sagara mengangguk, sudah berani membawa adik kembali kerumah maka Sagara berani melawan apapun setelah ini.

______________________

Melewati dini hari, Dinar pulang dengan kerutan lesu mampir di sekitar wajah ketika sudah hampir subuh, para pekerja terlihat sibuk di dapur, menyiapkan segala keperluan untuk sarapan. Dinar mengerutkan kening waktu pelayanan tampak menyiapkan satu masakan yang cukup di kenalinya.

"Sagara, sudah pulang?"

Di sapa begitu, pelayan menganggukkan kepala pun sambil tersenyum mereka menjelaskan bahwa tuan muda bungsu juga ada di rumah.

Dinar gemetar tanpa banyak bicara bergegas cepat menaiki setiap anak tangga untuk menghampiri kamar si bungsu, kali ini tangannya menggantung di depan pintu kamar Leo, sesekali merapal banyak kata untuk meyakinkan dirinya memutar kenop pintu, wanita paruh baya itu menarik nafas gusar sebelum menggerakkan tangannya dengan perlahan.

Seolah semua beban yang menimpa pundaknya baru aja di runtuhkan, bola mata wanita itu memanas kala netranya mendapati Leo tertidur pulas di atas ranjangnya.

Putranya kembali.

Jadi dengan hati-hati, Dinar mendekat, duduk bersimpuh di atas ranjang si bungsu dengan netra kembar yang tidak berhenti memandangi wajah anaknya itu, wajah bocah yang baru berusia belasan tapi sudah dia timpa dengan segala macam permasalahan.

"Leo.." kalimatnya melirih, Dinar dengan gemetar menggenggam telapak tangan putranya, kepalanya dia tundukan, mengusapi punggung tangan itu yang mendingin, hatinya terasa nyeri. Baru kali ini dia melihat sosok Leo sejelas ini, baru kali ini dia melihat anak kecilnya serapuh ini.
"Maafin ibu, Leo.. maaf." Pun ranumnya yang bergumam lirih, ibu menaikan lengan pakaian Leo, mengusapi bekas luka yang tercetak jelas disana.

Wanita itu sudah banyak mendengar apa yang Leo alami dari pelayan rumah, Leo yang kerap kali menyakiti dirinya, Leo yang meninju jendela kamar dengan pecahannya dia jadikan alat untuk menorehkan luka baru, Leo yang sering menangis sambil memukuli kepalanya di penghujung malam kala ia sendiri dalam ruangan.

Leo, depresi.

Dengan sedikit keberanian, Dinar mengangkat wajah. Matanya terpejam begitu dingin menyapa ranumnya, kali pertama setelah belasan tahun dia telantarkan. Dinar baru mengecup lembut kening putranya.

Seorang ibu yang dengan tega melakukan banyak hal keji pada putranya, seorang ibu yang tanpa belas kasih membandingkan kedua anaknya, seorang ibu yang tanpa ragu menggunakan tangannya untuk memukuli permata kecilnya, pun seorang ibu yang terang-terangan membuang darah dagingnya.

Apa masih bisa Dinar menyebut dirinya sebagai ibu?

TBC.

Jejaknya tinggalkan, jangan lupa :>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jejaknya tinggalkan, jangan lupa :>

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang