16. Perlahan.

510 57 2
                                    

Bungkus camilan menjadi teman kekosongannya siang itu. Sudah dua hari sejak kejadian terakhir yang menimbulkan trauma kecil untuk si bungsu pada rumah, Sagara akhirnya putuskan untuk biarkan adiknya tinggal bersama Isa. Kosan Isa juga cukup luas untuk mereka tempati berdua.

Sejujurnya Isa jelas tidak keberatan, lagipula sudah hal biasa kamarnya di jadikan pelarian kala Leo lemah. Tapi sejatinya hari-hari biasa Leo di penuhi keluhan, kali ini sosok itu lebih banyak diam. Sesekali mereka masih akan berbagi canda, menghapus kecanggungan sebab tidak mungkin akan selamanya tidak bicara. Hanya Isa yang tidak mengerti, sebab apa tawa Leo terasa hampa. Kosong, cuma serupa upaya empunya yang bersikeras untuk terlihat baik-baik saja.

'sakit banget ya?' Isa pernah bertanya begitu, sayangnya cuma pada ruang hampa, pada pintu kamar yang sudah tertutup bersamaan dengan temannya yang hilang di balik sana membawa serta selembar uang sepuluh ribu dalam genggaman, katanya, "mau beli rokok." Banyak gaya, Isa mentertawakannya seharian waktu si bungsu tersedak asap nikotinnya sendiri.

Kemudian saat ini, satu pesan singkat singgah di layar ponselnya. Isa kerutkan kening sebelum tatap Leo yang sibuk dengan tugasnya.

Kerutan curiga pun sedikit kesal kentara begitu dia membaca isi pesan. Tanpa banyak bicara dia bergegas mengantungi kunci motor, buat alibi mau cari Indomie untuk santapan tengah malam mereka supaya Leo tidak curiga. Padahal dia hanya ingin menemui peran utama penumbuh trauma temannya yang saat ini sudah menunggu di cafe depan gang komplek tempatnya tinggal.

Kesal, tapi Isa cukup mengerti mereka perlu berbicara untuk berbagi informasi, ada banyak juga yang ingin Isa tau, tapi sebenarnya tidak ada satu hal pun yang ingin dia beritau, Isa pikir tidak ada hak sama sekali untuk orangtua yang membuang putranya mengetahui hari seperti apa yang di jalani putranya.

"Basi." Adalah ketusan hampa yang menguar bersamaan udara begitu dia menghentikan motornya tepat ketika sudah sampai tujuan. Dengusan tak luput dia keluarkan ketika memilih angkat kaki dari motor kesayangan sebelum melangkah kedalam.

Netranya menilik seisi ruangan sampai tertuju pada rupa sempurna paruh baya yang mengukir senyum dengan lambaian tangan, memintanya mendekat.

Maka disini mereka, berteman dua gelas kopi hangat. Keduanya diam untuk waktu yang cukup lama, jika Isa sibuk menunggu, maka ibu sibuk mengatur setiap perkataannya supaya terdengar meyakinkan untuk mendapat jawaban.

"Kamu mungkin sudah tau saya."

Begitu kalimat pertama yang keluar terdengar menggelikan, Isa rasanya mau menggumamkan kembali ketusannya beberapa waktu tadi.

'basi'

"Saya minta maaf kalau lancang meminta kamu ketemu hari ini, saya cuma mau menanyakan kabar Leo."

'kabar Leo, katanya' dalam hati tertawa, Isa hampir pekikan lantang kekehan sarkas yang dia biarkan terpendam. Mau mengejek terang-terangan wanita ini. Apa-apaan maksud tingkah angkuhnya ini.

"Baik,"

"Syukurlah, saya belum bisa jenguk. Kontak saya juga kayaknya di blokir, nak Isa, kalau nggak keberatan bisa tolong sampein sama Leo, kalo ibu mau bicara, mau ketemu sama dia."

Kali ini sorot tidak suka jelas Isa tunjukan pada lawan bicaranya.

"Maaf kalau saya lancang, tapi saya rasa Leo punya hak untuk nggak mau pulang," Isa membenarkan posisi duduknya, menjadi lebih tegak dari sebelumnya berusaha menunjukkan kalau dia tengah serius dengan topik pembicaraan mereka.
"Saya nggak mau mencampuri urusan keluarga teman saya, tapi disini saya nggak bisa turuti kemauan anda untuk mempertemukan kalian, Leo sedang sakit dan anda tau penyebabnya, saya bukan bermaksud kurang ajar tapi Leo berhak untuk tidak datang." Di detik itu, Issandra sudah mengibarkan bendera perang.

Satu hari lagi (Ft. 00l Nct Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang