Bab 59

39.7K 2.4K 692
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
.
.
.
.
.

Jangan lupa perbanyak istigfar dan sholawat!

Happy Reading!

=_=_=

"Belum tapi kabar baiknya, Gus Ghaazi tidak terlihat dalam rekaman CCTV di hari keberangkatan pesawat itu. Jadi kita punya harapan jika Gus Ghaazi masih hidup."

Salwa menghembuskan napas lega, meskipun sosok suaminya belum di ketemukan. Setidaknya, Gus Ghaazi bukan termasuk korban pesawat jatuh itu.

"Alhamdulillah," ucap semuanya penuh syukur.

"Ya sudah, saya pergi dulu. Saya ingin mencari Gus Ghaazi ke negara seberang, semoga ana bisa secepatnya menemukan dia dan membawanya kembali. Assalamualaikum!"

Semuanya menyahuti salam itu. Namun, Salwa yang belum puas gegas menyusul Gus Birru.

"Gus!"

"Kenapa Salwa?" Gus Birru membalikkan tubuhnya.

"Salwa boleh ikut?"

Gus Birru menggeleng. "Kamu perlu mengurus paspor jika ke sana dan itu butuh waktu. Lebih baik kamu di sini saja. Tunggu kami pulang dan doakan yang terbaik."

Raut wajah Salwa berubah sendu lagi, sudut netranya mulai berair kembali.

"Udah ikutin aja sih!" Agni merangkul Salwa, mengajaknya balik ke asrama bersama dua teman lainnya juga.

=_=_=

Gus Birru bersama Kyai Ghaffar sampai di Bandar Seri Begawan Airport pukul tujuh malam waktu setempat.

"Kita ke mana dulu, Bah?" tanya Gus Birru yang mendorong koper di samping lelaki berpakaian thawb warna putih, tak lupa sorban putih merah yang senantiasa ada di kepalanya.

"Abah sudah menghubungi kenalan, sebaiknya kita menginap di sana. Besok baru kita cari sepupu kamu."

"Siap, Bah!" Gus Birru mengangkat tangannya hormat.

Keluar bandara menggunakan taksi, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah megah yang di huni oleh sepasang suami istri seusia Kyai Ghaffar. Setelah bercengkrama dengan si pemilik rumah, mereka pun istirahat.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan pencarian. Di mulai dari alamat rumah saudaranya yang susah payah mereka dapatkan.

"Bah, ini beneran alamatnya Paman Ghifari?" Kyai Ghaffar mengangguk.

"Kok sepi banget? Rumahnya juga di pelosok nggak di kota, padahal setahu Birru Bibi Neza itu glamor dan wanita karir, masa mau tinggal di sini?"

"Ndak baik ngomong gitu. Setiap orang bisa berubah."

"Mon maaf, Bah. Ana kaget dan masih nggak percaya. Apalagi Paman Ghifari termasuk jajaran pengusaha sukses."

Kyai Ghaffar tak menanggapi lagi ocehan Gus Birru. Berbeda dari putranya yang cenderung memendam, cuek dan tidak ingin meributkan sesuatu, keponakannya ini lebih ceplas-ceplos. Namun, hal positifnya adalah keponakannya tidak akan tinggal diam jika saudaranya memiliki masalah.

"Assalamualaikum! Paman, Paman Ghifari! Keponakanmu yang tampan ini datang! Yuhu!"

"Birru," Kyai Ghaffar memperingatkan supaya lebih sopan.

"Hehehe ... kebiasaan Bah."

"Biar Abah saja yang ketuk." Gus Birru mundur, membiarkan pamannya beraksi. Sementara dirinya sudah sibuk menjelajah sekitar.

GuS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang