Duapuluh dua

11.5K 1.2K 41
                                    


Happy reading~

"Adek buka pintu kamarnya sayang."

Suara ketukan pintu yang entah sudah ke berapa kali nya, Helnan semakin bergelung di dalam selimut tebalnya tidak membiarkan satu orang pun masuk ke kamarnya lebih tepatnya takut saat di tanya tentang keadaannya apalagi memar di bagian pipi dan dagunya.

"ADEK ENGGAK KENAPA-KENAPA KAN DI DALAM SANA?!" teriak Nolan.

Tidak tahu saja anggota keluarganya sampai panik karena anak itu tiba-tiba mengurung dirinya di dalam kamar tidak mau makan malam.

"Adek belum makan loh, Mama suapin aja ya? Tapi bukain pintunya dulu." Rinjani hampir menyerah membujuk Helnan.

"Elnan enggak laper Mama." Sahutnya tak kalah keras bahkan mereka yang berada di depan kamarnya mendengar semua.

"Elnan mau bobo udah ngantuk." Lanjutnya lagi.

Damar yang mendengar itu tidak tinggal diam apalagi saat melihat wajah istrinya yang begitu khawatir dengan segera ia memerintahkan maid untuk mengambil kunci cadangan di kamarnya.

Saat pintunya sudah terbuka, langkah lebar kaki Damar langsung memasuki kamar yang terasa gelap karena hanya ada pencahayaan lampu tidur saja.

"Adek sudah tidur?" Tanya Damar menatap tubuh Helnan yang terbungkus selimut.

Helnan yang berada di dalam selimut mencoba untuk pura-pura tidur memejamkan matanya.

Rinjani membuka pelan selimut Helnan. "Sudah tidur ternyata."

Dengan refleks Helnan menggelengkan kepalanya membuka selimutnya lebar-lebar.

"Helnan belum tidur kok." Helnan menutup mulutnya tidak percaya kenapa ia bisa jadi pelupa seperti ini.

Nolan langsung menghidupi saklar lampu di kamar Helnan membuat mereka yang berada di sana menatap tajam anak itu.

"Astaga ini kenapa?" Pekik Diana.

Rinjani memegang pundak Helnan menatap setiap inci wajah anaknya. "Kenapa bisa seperti ini?"

"Pipinya merah terus dagunya memar gini." Lanjut Rinjani dengan suara paraunya.

Helnan mencengkram erat selimutnya, menghilangkan rasa gugup saat matanya bertatapan dengan Melvin seolah jika Helnan berani mengadu maka Melvin akan berbuat lebih kasar lagi.

"Helnan jatuh." Bohong Helnan, bahkan para Abangnya saja tahu jika anak itu sedang berbohong.

"Ini bukan kena pukul kan?" Pertanyaan dari Kakeknya membuat Helnan diam tidak berkutik.

"Enggak kok benaran, Helnan jatuh tadi pas mau ambil susu kotak di lemari kursinya geser-geser terus susu kotak yang banyak di tangan Helnan jadi jatuh ke muka." Ucapan yang tidak masuk akal pikir mereka. Jika jatuh pun tidak akan menimbulkan kemerahan yang begitu lama di wajah Helnan.

Damar mengangguk paham menarik tubuh Helnan kedalam pelukannya tidak mau bertanya dengan sedikit berlebihan karena Damar bisa melihat jika Helnan seperti menyimpan sesuatu yang belum mau ia ungkapkan.

"Lain kali hati-hati, jangan ceroboh lagi kalau mau ngambil sesuatu yang tinggi harus minta tolong." Kata Damar menepuk punggung Helnan saat merasakan pelukannya kian erat.

"Maaf Papa Helnan jadi anak nakal lagi." Sahutnya mengambil tangan Damar dan menciumnya.

Damar merasakan perasaan yang menghangat begitu saja, Helnan mungkin bagi orang lain adalah remaja yang tidak perlu lagi di manjakan. Tapi bagi Damar berbeda Helnan adalah putranya yang harus ia berikan kasih sayang dengan seluasnya, yang harus ia berikan dekapan hangat untuk menyambut setiap senyum tulusnya.

Dia Helnan | Lee Haechan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang