Tigapuluh lima

8.8K 912 25
                                    


Happy reading~
.
.
.
.

Tidak banyak yang Helnan lakukan pagi ini selain berbaring di atas brankar. Cukup merasa bosan.

Merasa seluruh badannya tidak enak saat berbalik Helnan memutuskan untuk duduk di atas brankar dengan hati-hati. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali saat pusing di kepalnya tiba-tiba datang.

"Mama." Panggil Helnan saat melihat Rinjani masuk dengan nampan di tangannya.

"Waktunya Adek makan." Ujar Rinjani dengan senyum tipisnya.

Helnan menatap tidak minat ke arah bubur yang di bawa oleh Rinjani.

"Enggak mau bubur." Katanya menolak saat hendak di suapi oleh Rinjani.

"Dikit aja, Adek dari semalam belum makan loh."

Helnan menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya. "tapi enggak ada rasanya Elnan enggak suka Mama."

Rinjani menatap sendu ke arah putranya, wajahnya benar-benar sangat pucat. Tidak bisa juga ia memaksa anaknya jika tidak mau makan seperti ini. Jadi, Rinjani mencoba mencari caranya supaya Helnan mau makan walaupun hanya beberapa suap.

"Papa kemana? Kenapa cuman ada Mama sendiri?" Tanya Helnan.

"Lagi ketemu sama dokter Farhan, Adek buka mulutnya dulu sayang." Ucap Rinjani, karena Helnan yang masih belum sadar anak itu hanya menurut saat di suapi oleh Rinjani.

Di tengah kunyahan nya Helnan kembali berbicara. "Helnan mau ketemu sama Abang."

"Iya, nanti Abangnya bakalan kesini juga."

Memang di ruang rawat milik Helnan anak itu hanya di temani oleh orang tuanya. Keluarganya yang lain sudah pulang sejak malam tadi karena mereka semuanya juga tidak mungkin menginap di rumah sakit. Walaupun ruang rawat milik Helnan bersifat VVIP tapi sudah di pastikan jika Helnan berkumpul dengan para Abangnya anak itu akan sangat susah di urus dan itu berdampak pada waktu istirahatnya.

"Oke," sahutnya, sebelum ia berhenti mengunyah bubur dalam mulutnya. "Kok Helnan makan buburnya." Ujarnya dengan muka yang benar-benar sangat polos.

Rinjani terkekeh geli. "Padahal Adek udah makan dari tadi."

"Iyakah." Gumamnya bingung.

Suara decitan pintu terbuka lalu Damar masuk dengan wajah lesunya.

"PAPA!" Teriak Helnan melihat Damar yang sudah selesai berbincang dengan dokter khususnya.

Damar langsung merubah raut wajahnya menjadi tersenyum di hadapan putranya, Rinjani dapat merasakan perasaan aneh yang bergejolak di dadanya saat melihat tatapan suaminya kala memeluk anaknya.

Takut, Rinjani benar-benar takut.

Rinjani membuang pandangannya ke arah lain, semuanya hanya menggunakan topeng untuk saling menguatkan.

"Ihh Helnan kangen Papa tau." Katanya dengan suara lucu saat Damar melepaskan pelukannya.

Tawa kecil Damar terasa mengudara. "Kenapa kangen padahal kan Papa enggak kemana-mana."

"Enggak tau juga." Sahutnya polos membuat sudut bibir Damar melengkung membentuk sebuah senyuman tipis.

"Sudah makan?"

Helnan mengangguk.

"Baru tiga suap," celutuk Rinjani.

"Kok dikit?" Tanya Damar saat mendengar ucapan sang istri.

"Elnan nunggu Papa tau! Papa kenapa lama? Terus juga Papa ngobrol apa sama dokter Farhan? Keadaan Helnan gimana? Makin baik kan?" Tanyanya beruntun dengan wajah  lugunya menatap Damar.

Dia Helnan | Lee Haechan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang