Tiga

16.2K 1.5K 13
                                        


Sore itu, Hanggarila memutuskan untuk langsung pulang dari kantornya. Laki-laki dengan kemeja hitam itu tampak tenang mengemudikan mobilnya. Sebelumnya, Samuel sempat menelepon dan menyuruhnya pulang lebih cepat. Kalian tahu kenapa? Karena Nolan dan Eksa sempat bertengkar hebat—adu mulut yang cukup membuat rumah terasa seperti ladang perang. Sudah biasa sebenarnya.

Meskipun tubuh Samuel tinggi besar, dan tegap. Tapi jika menghadapi mulut pedas adiknya, Eksa, adalah perkara lain. Jika bukan karena tanggung jawab sebagai kakak tertua, mungkin Samuel lebih memilih lembur di kantor seharian daripada menghadapi keributan atau drama tak berfaedah dari adiknya.

Lampu lalu lintas yang berubah merah membuat mobil Rolls-Royce Boat Tail itu berhenti. Hanggarila memijat tengkuknya yang terasa pegal. Akhir-akhir ini, perasaannya memang sedikit memburuk. Ia bertanya-tanya, mungkinkah karena ia sedang merindukan sosok sang ibu? Beberapa malam terakhir, mimpinya selalu mempertemukan mereka, dengan Mamanya.

Alih-alih pulang, Hanggarila justru memutar balik mobilnya. Ia menuju ke tempat yang seharusnya tidak ia datangi.

Pantai

Mobil itu berhenti tepat di dekat pantai, Hanggarila mencengkram kuat setir mobilnya butuh waktu beberapa menit akhirnya ia bisa keluar dari mobil.

Semilir angin yang berhembus berhasil menusuk kulit putihnya, deburan suara ombak serta hamparan lautan air yang luas membuat matanya sedikit memanas.

Kakinya terlalu sulit digerakkan untuk melangkah lebih dekat dengan air, sehingga membuatnya terduduk dengan tatapan kosongnya. Gemuruh air yang terasa berisik di telinganya membuat Hanggarila kian di hantam sesak di ulu hatinya

Ingatannya kembali menerawang beberapa tahu silam.

"Laut kembalikan Mama Nolan!"

"Nolan mohon jangan buat Mama Nolan tidul di dalam ail telus."

"Nolan mau peluk Mama! Laut kenapa jahat, meluk mama telus kenapa ga di lepas."

"Mama Nolan jangan di ambil laut, Nolan sama Abang sedih! LAUT JAHAT! NOLAN BENCI LAUT!"

Teriakan Nolan kala itu, saat hampir dua bulan koma, ia menangis tersedu-sedu saat bangun dan meminta ingin ke pantai. Disitu Nolan kecil mencoba mengungkapkan semua keluh kesahnya sambil menangis di hadapan hamparan laut yang luas sembari di tenangi oleh Damar. Sakit, itulah yang di rasakan Hanggarila saat melihat sang adik yang masih kecil harus mengalami kenyataan pahit kehilangan sosok seorang ibu.

Walaupun jadi Hanggarila juga tidak mudah, ia hanya mencoba menjadi sandaran adiknya ia hanya ingin kuat di depan mereka. Nyatanya seperti inilah seorang Hanggarila tidak lebih dari seorang pembohong, ia sakit tapi Adik dan Papanya juga jauh lebih sakit.

Hanggarila tidak ingin mengingatnya bukan karena apa tapi, karena itu adalah salah satu bagian ingatan yang paling buruk menurutnya.

Memegang kepalanya yang terasa nyaris pecah. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya gemetar saat meraih ponsel, mencoba menghubungi siapa saja. Ia butuh seseorang. Saat ini, ia benar-benar tidak kuat. Semua organ tubuhnya seakan menolak bekerja.

"Kenapa bang?"

"Tolong Abang,"

"pantai"

"Maksudnya?"

"Hallo? Abang?"

"di—pantai Juna."

Tutt

Sambungan terputus.
____

Bau khas obat-obatan menyeruak kedalam penciuman Juna, laki-laki dengan dimple di kedua pipinya itu menatap sendu dan juga khawatir saudaranya.

Ia juga sudah menghubungi keluarganya termasuk Papa dan adiknya. Saat sambungan telepon dari Hanggarila terputus Juna mendadak kehilangan keseimbangan tubuhnya, detik itu juga dengan perasaan yang membuncah ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan.

Dia Helnan | Lee Haechan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang