Again?

1.9K 212 28
                                        

Ben duduk melamun di kasurnya, Delvon sudah tiba beberapa menit yang lalu dan mereka memutuskan untuk membahas semua di kamar tamu karena kamar Ben saat ini sudah mulai di renovasi.

"Jadi, kenapa kemarin nelpon gue? Gue panik banget denger lo gemeter gitu" Ucap Delvon serius.

Ben menghela nafas, sedikit menyesal karena sudah membuat Delvon khawatir padanya.

"Sorry bang, kemarin gue syok banget. Gue nemu beberapa barang Fed dan yahh gue kaget" Ben bangkit meraih sebuah kotak yang kemarin ia jadikan tempat menyimpan barang temuannya.

"Nih, liat sendiri apa yang gue temuin" Ben menyerahkan kotak itu pada Delvon dan pemuda itu tanpa ragu membukanya.

"Album foto? Kotak cincin?" Ucapnya bingung.

Delvon membuka album foto itu hingga akhir, tak terkecuali ia juga melihat foto terakhir yang membuat Ben gemetar.

"Ini? Bukannya mama dan yang satunya gue tebak mommynya Fed?" Ucapnya sedikit terkejut.

"Hm, gue gak tau hubungan mereka apa tapi di belakang foto ada tanggal sama tulisan" Jelas Ben.

Delvon membalik foto itu dan memang benar ada tanggal dan tulisan yang disebutkan Ben tadi.

"23 Desember, Kita memutuskan untuk menjadi saudara" Ucapnya.

Mereka terdiam merenungi kalimat itu.

"Gue rasa mereka saudara?"

"Gak mungkin!! Mama anak tunggal bang" Ucap Ben tegas.

"Tapi gak menutup kemungkinan kan? Atau mereka bukan saudara tapi saling menganggap bahwa mereka saudara? Ada terlalu banyak kemungkinan dari kalimat itu" Jelas Delvon.

"Gue rasa, alasan Ryan dan wanita itu memilih Gue dan Fed yang mereka hancurin hidupnya karena mama dan mommy masih berkaitan satu sama lain"

"Lo tau bang? Ternyata Fed sama Ryan masih sepupuan, mommy punya saudara tiri dan dia wanita itu" Lanjutnya.

Ben merebahkan tubuhnya di kasur diikuti oleh Delvon yang memeluknya erat.

"Adik gue kuat, masalah ini pasti selesai. Inget gue selalu sama lo" Ucapnya sambil mengusap rambut Ben yang cukup panjang.

"Eumm, tapi bang gue minta tolong sama lo. Gue mau lo bawa barang-barang di atas lemaru yang ada di kamar gue di panti" Ben mendusel di dada Delvon yang tubuhnya lebih besar.

"Lusa gue libur, gue bakal balik ke rumah sekalian gue ambil barang lo. Ada lagi yang mau lo ambil?" Tanyanya.

Ben terdiam sesaat, mengangguk pelan atas pertanyan Delvon.

"Ada, bisa tolong ambil foto mama di atas nakas juga. Gue kangen mama" Ucapnya lirih.

Delvon tersenyum lembut dan mengangguk.

"Tentu. Lo juga udah di Jakarta, kalo lo siap lo bisa jenguk mama" Sarannya.

"Mungkin nanti, gue masih belum siap" Ben memejamkan matanya.

Sementara Delvon yang mendengar itu hanya bisa tersenyum getir.

Sampai kapan Ben, sampai kapan lo mau tenggelam di kenangan buruk itu - batinnya.

Sore itu mereka tertidur dengan damai di dekapan masing-masing.

***

"Lo yakin mau keluar?" Ucap Delvon sepanjang jalan mereka keluar dari kamar tamu.

"Yakin" Sahut Ben singkat.

Sampai di ruang tengah, ternyata disana sedang ramai dengan Theo dan kawanannya. Ada daddynya yang juga telah pulang dari kantor. Ben memilih mengabaikan mereka dan berjalan luruh menuju pintu keluar dengan Delvon yang mengikutinya.

"Kemana?" Pertanyaan dingin muncul dari pria paruh baya yang merupakan daddynya.

Ben menghentikan langkahnya tanpa membalikkan badan.

"Keluar" Ucapnya tak kalah dingin.

"Motor kamu saya jual" Ucapan dari Justin mebuat Ben menoleh cepat.

Wajah Ben memerah karena marah dan tanganya otomatis terkepal.

"Kenapa? Kenapa anda ikut campur masalah saya?!!" Ben berteriak dengan amarah tertahan. Ia muak dengan semua ini.

"Kamu akan membuat masalah dengan motor itu" Justin tetap tenang menghadapi amarah putranya.

Sementara yang lainnya hanya melihat tanpa berani menyela. Ryan sendiri sudah memasang wajah sedih namun matanya berbinar senang.

Ben terkekeh pelan dan menunduk. Emosinya kembali hanyut, tubuh Fed ini benar-benar menyebalkan.

"Kenapa daddy selalu menghancurkan kebahagiaanku? Jika tidak bisa membuatku bahagia setidaknya biarkan aku bahagia dengan caraku" Ucapnya lirih sebelum berbalik dan menarik Delvon untuk pergi dari rumah itu.

Sementara Justin, Jareth serta Saskara termenung mendengar ucapan pemuda manis itu. Berbeda dengan Theo yang memandang tajam kepergian Ben dan Ryan yang menahan senyum bahagianya.

Lo emang gak pantes bahagia Ben - Batinnya.

***

"Udah nelpon bubu lo kan? Dia ada di apart kan?" Ucap Delvon cemas.

Ben sedang tidak baik-baik saja sekarang, dan Delvon tidak mau mengambil resiko jika memang Keiza tidak ada di sana.

"Udah, bubu ada di apart" Ucapnya pelan.

"Gue masuk, makasih bang" Tanpa menunggu jawaban Delvon, Ben berbalik dan masuk ke gedung tinggi di depannya.

"Gue harap lo kuat Ben, tubuh lo pasti bikin lo lemah sama mereka ya?" Gumam Delvon sebelum memacu motor miliknya pergi setelah melihat Ben menghilang dari pandangannya.

Ben menaiki lift dan menuju ke lantai tempat unit Keiza berada. Ketika tiba, Ben segera menelan bel dan tanpa menunggu lama pintu unit tersebut terbuka dan memperlihatkan wajah khawatir Keiza.

"Ada masalah lagi?" Ucapnya cemas dan langsung menarik Ben ke pelukannya.

"Aku jelasin di dalem aja Bu"

Mendengar itu, Keiza menuntun Ben masuk dan mendudukkan pemuda itu di sofa miliknya. Ia juga langsung duduk di depan Ben.

"Jadi?"

"Aku ribut lagi sama daddy, kali ini daddy jual motor aku Bu" Ben berucap sedih dengan air mata yang tidak ia tahan lagi. Ia bisa menangis sepuasnya di depan Bubunya.

"Mau Bubu bantu omongin? Atau kamu beli aja yang baru Ben" Keiza mengusap lembut punggung kecil pemuda itu.

"Engga usah, tapi Ben mau tinggal disini aja" Ucap Ben tegas.

Sementara Keiza memasang wajah menyesal.

"Bubu mau banget kamu tinggal disini, tapi daddy kamu udah ngancem kalo Bubu berani bawa kamu pergi. Bubu gak mau kamu malah dibawa paksa ke sana lagi dan dikurung di rumah itu" Jelasnya.

Ben terdiam mendengar itu. Ternyata pria itu memang ingin dirinya menderita. Ben masih melamun di pelukan milik Keiza.

"Kalo gitu Bubu aja yang tinggal disana, aku gak punya temen di rumah. Kak Aru kan tinggalnya di rumah lain" Ucapnya.

Keiza sedikit tersentak mendengar ucapan pemuda itu, ia kemudian merenung.

"Bubu gak bisa mutusin itu sekarang, nanti Bubu bakal sampaiin ke daddy kamu dulu. Bubu usahakan bisa ya sayang" Keiza mengusap lembut rambut panjang Ben dengan senyum lembutnya.

"Nah, sekarang kamu mending mandi dulu. Biar Bubu siapin makan malam" Lanjutnya.

Ben menurut dan beranjak dari hadapan Keiza. Sementara pria itu masih merenung dengan wajah sendunya.

"Andai kamu tahu, seberapa benci daddymu sama Bubu" Lirihnya dengan pandangan menerawang ke masa lalu.

"Kalo aja aku gak bilang itu" Gumannya lagi dengan penuh penyesalan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC

Part ini agak pendek, semoga kalian enjoy yaa walau pendek 💙

It's All About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang