2018.1

40 21 47
                                    

Masa Orientasi Perasaan

***

Masa orientasi sekolah, sudah dimulai. Gadis manis berpenampilan sederhana, sulit menetralkan degup jantungnya. Lagi-lagi perasaan cemas berlebihan datang lagi, berhasil menggerogoti mentalnya.

Dayita berjalan sendirian akan melewati lorong, penglihatan yang dibantu kacamata mencari kelas X IPS 1. Dekat ujung lorong rupanya kelas sementara itu berada.

Gadis yang masih memakai seragam putih-biru di sekolah menengah atas itu, berdiri di depan pintu ragu untuk masuk. Tangannya menggenggam tali ransel kuat, bulir keringat mulai menetes di dahinya.

Kelas sudah dimulai, Dayita terlambat, pikirannya terbebani segala bayangan buruk, ia takut kakak kelas para anggota OSIS akan menghukumnya.

"Ekhem!"

Benar saja, mendengar dehaman itu Dayita langsung menunduk dan meremas roknya tanpa menoleh barang sekejap.

Seorang lelaki memakai almamater hitam berdiri di ambang pintu menatap Dayita dengan memicingkan matanya.

"Kak Rizky! Ada adik kelas yang terlambat!" lapornya pada salah satu panitia MOS di dalam kelas.

Dayita memejamkan mata, perasaannya bertambah was-was. Namun, sekali lirikan ia mencuri pandang pada lelaki di hadapannya. Sayangnya hanya name tag yang dapat ditemukan netranya.

Salendra Rudita. Kini Dayita sekedar tahu namanya.

"Mana, Kak Rud?"

Pemilik nama yang dipanggil pun datang, ikut berdiri di samping lelaki yang lebih dahulu menyapa Dayita.

"Nih." Rudita menunjuk Dayita dengan dagu, lantas bersidekap dada dan menyandarkan bahu di ambang pintu.

"Siapa nama kamu?" tanya Rizky sambil melirik name tag yang terbuat dari kardus dan terkalung di leher Dayita. "Dayita Kanan?" Rizky menjawab sendiri, tidak memberi kesempatan Dayita untuk membuka suara.

Dayita hanya mengangguk kaku, belum berhasil melenyapkan rasa cemasnya.

"Ayo masuk, teman-teman kamu nungguin kamu buat menyapa," ajak Rizky si lelaki pembawa kamera dengan maksud tersembunyi.

Rudita berkulit cokelat aesthetic dengan tubuh tegap, tersenyum miring mengeluarkan aura dingin lantas berbalik masuk mengikuti partnernya.

"Huft!" Gadis yang tampak culun itu merapikan hijab putihnya, ia berusaha mengatur nafas dan menetralkan mimik wajahnya agar tidak terlihat tegang karena degup jantung yang semakin tak bersahabat.

Dayita masuk membawa langkah kakunya, terus menunduk merasa berat untuk menatap orang-orang yang berada di dalam kelas.

"Coba kasih perhatiannya adik-adik!" Anggota OSIS perempuan bername tag Raya menginstruksi.

"Lihat teman kalian ini." Ia mulai mengitari Dayita. "Datang 10 menit setelah bel masuk berbunyi, dengan lancang mengabaikan peraturan sekolah yang terpampang jelas di depan pintu masuk. Apa kamu nggak punya mata?!" sarkas Raya menunjuk Dayita yang pikirannya sudah semakin hancur.

"Jangan tiru kelakuan ini, anak baru udah berani datang terlambat!" Raya membentak tepat di telinga Dayita, kemudian lanjut mengitari. "Sekolah nggak akan kasih toleransi, coba ulangi peraturan yang tertera jelas di banner depan!" perintahnya pada seluruh peserta kecuali Dayita.

"LEBIH BAIK MENUNGGU SEPULUH MENIT DARI PADA TERLAMBAT SEPULUH MENIT!" ucap kompak mereka.

"Dengar itu?" Dayita mengangguk, ia hampir menangis sekarang.

"Paham akan kesalahanmu?" Raya bertanya lagi. Dayita kembali mengangguk.

"Siap menerima konsekuensi?" Dayita ragu dan sangat takut, menatap ujung sepatunya menguatkan remasan pada roknya.

"Siap nggak?!" bentak Raya tak sabar. Dayita spontan mengangguk, kini gadis itu benar-benar menangis, menghapus jejak air matanya menggunakan punggung tangannya.

"Cengeng!" Raya berlalu dari sisi Dayita. "Gue lempar ke lo tuh, Kak Izril!" pungkasnya dan duduk di kursi guru.

"Wah siap!" Sosok yang dimaksud meninggalkan tembok tempat bersandarnya, menggesek-gesek telapak tangan seakan bersiap menyantap mangsa.

Kala Izril telah berada tepat di samping Dayita, ia bertanya pada seluruh yang hadir di situ. "Enaknya diapain nih?"

Mendadak semua mengeluarkan suara memberi usul, suara riuh menggema di dalam kelas itu, mengompori lelaki berambut ikal itu untuk mengeksekusi dengan cara yang seru tanpa peduli atau sedikit saja menaruh rasa empati terhadap Dayita yang sepenuhnya sesenggukan saat ini.

Izril tertawa. "Woy! Woy! Santai dong, ngiler amat romanya." Ia memberi isyarat untuk mendiami seluruh makhluk berisik itu, namun semuanya kelas kepala. Empat anggota OSIS di sana ikut membantu menyuruh diam, tapi tidak ada yang mau mendengar.

Kecuali satu orang yang masih enggan ikut campur. Dia Rudita, hanya menatap malas belum mau mengambil tindakan. Sampai dititik benar-benar terusik, Rudita berjalan menuju papan tulis.

BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!

Ia menggebrak papan tulis sekalinya bertindak. Dayita memejamkan matanya mendengar suara keras dan mengejutkan itu. Sontak seluruh suara tenggelam seketika, yang berdiri mulai duduk satu persatu dengan wajah takut dan tertunduk. Garis wajah dingin yang dipahat Tuhan untuk tampilan wajah Rudita, membuat nyali menciut.

"Terlalu banyak bacot kalian! Biar saya yang kasih dia hukuman!" putusnya menghampiri Dayita. Izril menyingkir, merasakan aura tak menyenangkan dari dekat Rudita.

"Kamu!" Rudita menunjuk Dayita, tapi gadis itu tidak juga mendongak. "Bawa name tag dengan foto?" Dayita sebatas mengangguk.

"Mana? Kasih saya sini!" pinta Rudita mengulurkan tangannya ke hadapan Dayita.

Dengan tangan gemetar Dayita melepas ranselnya dan mengambil name tag kemudian menyerahkannya pada Rudita.

Rudita menerima, melihat tampilan name tag itu. Dari foto Dayita, hingga biodatanya.

"Alumni SMP Cinta Negeri?" Lagi-lagi bukannya menjawabnya, gadis itu hanya mengangguk. Dahi Rudita berkerut, rahang tegang, ia merasa geram terhadap adik kelasnya yang penakut. "Kalo diajak ngomong tuh liat lawannya!" bentak Rudita membuat Dayita tersentak.

Mau tidak mau Dayita mendongak. Awalnya hanya name tag yang berhasil ia lihat untuk kedua kakinya, sebelumnya akhirnya manik Dayita menangkap mata sendu milik Rudita.

Bagai menemukan sesuatu yang berharga dan tak biasa, Dayita terpana. Entah mengapa kelopak sendu itu seakan menarik kesadaran Dayita, mengetuk pintu hati Dayita hingga terbuka. Jantung Dayita berdegup kencang, bukan akibat rasa takut, melainkan rasa aneh dengan desiran halus yang menyapa bagian dalam perutnya.

Pada saat itu, terhitung untuk pertama kalinya Dayita berani menatap lama, Dayita berani menetap pada tatapan asing, Dayita merasa nyaman dengan posisi tak saling mengenal.

Pada detik itu, terhitung sebagai perdana Dayita ingin bertanya, Dayita ingin mengenal, Dayita ingin berdekatan lebih lama.

Pada waktu itu, terhitung sebagai permulaan Dayita berdoa kepada Allah mengenai sosok lelaki yang sebelumnya tak pernah ia panjatkan dalam doa.

Sejak itu, ia mengambil keputusan di luar alam bawah sadarnya, memperhatikan dengan jarak, menetapkan rasa yang diharapkan dapat berlabuh dengan selamat.

****

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang