Lentera dalam Ragamu
***
Masih sama di pertengahan tahun ini, sama seperti sebelumnya, kelabu, tak berwarna, kufur nikmat, sendu dalam jiwa, bersarang dalam lorong gelap belum nampak ujungnya. Dayita berjalan kaki seperti biasa, keceriaanya tak berlangsung lama, hanya ketika dia melihat tingkah menggemaskan anak-anak di pagi hari, saat tiba siang di mana mereka pulang dan ia harus berhadapan dengan kepala sekolah, saat itulah semuanya runtuh.
Bodoh, ia erutuki diri, begitu banyak kelemahannya, seakan tidak ada satupun kelebihan yang membuat ia bertahan. Dayitaa mencari dalam dirinya, mengingat-ingat apakah ada penerang di sana, sepertinya tidak, segalanya kian layu hampir luruh, meredup hampir padam.
Dayita terus menunduk, ia seperti mengalami deja vu saat berpapasa atau bertemu tatap dengan orang-orang di jalan. Itu bukannlah hal yang serius, namun sayangnya Dayita sudah sangat lemah, ak memiliki kekuatan membuat ia tak memiliki tumpuan. Ia lupa, sungguh bukannkah selalu hadir yang selalu ada? Zat yang menciptakannya, yang tak pernah putus mengasihinya.
Sayangnya hati Dayita tengah mengeras, kelembutannya tergerus dunia fana yang tak menjajikan apapun selain 'kesempatan sementara' tak abadi yang kelak akan musnah tak tersisa.
Dayita mempercepat langkah setelah cukup jauh berjalan, pasalnya ia akan sampai, rasa tak sabar untuk masuk ke dalam rumah dan menurung diri dalam kamar.
"Penupu!"
"Setelah lo habisin duit gue sama temen lo, sekarang lo mau ambil motor gue?"
"Jangan harap, anjing!"
Teriakan dan kata-kata sarkas memaku gerakan Dayita di depan rumah pamannya yang terletak sebelum rumah Dayita. Ada keributan di antara sepupu dan ibunya. Tubuh Dayita gemetar melihat posisi ibunya yang terduduk sambil menangis pilu yang di depannya Julian tengah di tahan bibinya karena hendak memukul ibunya, tak jauh dari posisi mereka, sebuah motor matic hita tergeletak.
"Ibu!" Dayita menghambur ke bawah di mana ibunya berada, dia memeluk tubuh ibunya kemudian menarik wajah tertunduk itu ingin menatap wajah yang selalu memberikan kesejukan hatinya. "Ada apa?"
Asy hanya menggeleng enggan buka suara.
"Ibu lo penipu, Dayita! Dia bawa kabur duit gue buat kerja, sekarang dia mau nguasain motor gua, cih!" Julian meludah di akhir kalimat, Asy yang sudah sangat lemah memeluk tubuh anaknya.
Uang? Kerja?
Maksud Julian uang yang dipercayakan kepada teman ibunya untuk menyogok kerja? Bukankah Julian sudah berhasil diterima dan sudah beberapa bulan mendapat gajih?
"A Julian, kan, sudah bekerja dan mendapat hasil yang artinya duit a Julian sudah kembali, sekarang apa salah Ibu Dayita? Dan soal motor, motor itu A Rafli gadai kepada Ibu, kenapa A Julian jadi ngaku-ngaku, A Julian yang meminjam, kenapa Ibu Day yang dituduh nguasain?"
"Lo bocah ngerti apa? Duit gue yang setengah juta dijanjiin Ibu lo balik, tapi sampe gua kerja berbulan-bulan tuh duit nggak balik-balik, malah tempat kerjanya nggak enak, ngejerumusin gue tau nggak ibu lo itu! Sebagai gantinya, motor ini jadi milik gue, lo sama ibu lo yang nguasain anjing!" Lelaki bertubuh kurus itu kembali bertingkah sembrono, kakinya ingin menendang-nendang ke arah Asy sontak saja Dayita sigap menarik Asy agar menjauh, sedangkan bibinya juga ikut menarik Julian dan mencoba menenagkan dengan kata-katanya.
Kekanakan!
"Nggak setimpal dong, A. A Rafli gadai ke Ibu aja lebih dari duit A Julian."
"Terus bisa lo balikin duit itu sekarang juga? Nggak bisa, kan? Makanya nggak usah ngebacok, sok pinter lo, urus, tuh, ibu lo!" Julian mendorong Ibunya dan pergi membawa motor yang tergeletak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA SENDU
Non-Fiction❝𝐒𝐨𝐬𝐨𝐤 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐦𝐮 𝐭𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐧𝐚. 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧, 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐤𝐮𝐭𝐚𝐡𝐮, 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮 𝐚𝐤𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐫𝐚𝐠𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮𝐦𝐮. 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐤...