Sepi Tanpa Sapa
****
Enam kali bulan purnama berlalu, selama itu tak ada sehari pun Dayita berjuang melawan depresi. Besok hari terakhirnya di sekolah, massa menjadi siswi akan segera berakhir. Dayita tidak lulus dalam pendaftaran kuliah di universitas negeri, kebingungan dalam menentukan jurusan juga menghentikannya untuk lanjut pendidikan tahun ini.
Entah mengapa, jangankan masalah besar, kecil pun selalu Dayita permasalahkan. Kegiatan perpisahan di sekolah seharusnya membuat para siswa-siswa bersemangat, namun tidak untuk Dayita, ia mempermasalahkannya, membayangkan semua tidak akan berjalan baik baik saja.
Pikirannya hanyut dalam segala prasangka buruk.
"Besok Dayita akan terlihat jelek."
"Kebayanya nggak akan cocok dipakai Dayita."
"Kalo pake make up, pasti orang-orang bakal Mandang aneh Dayita."
"Nggak bakal ada yang mau foto sama Dayita."
"Mereka pasti kumpul sama teman-teman satu circle mereka."
"Sedangkan temen-temen satu circle Dayita pasti nggak bakal gabung lagi."
"Dayita nggak bakal punya kenangan di acara besok."
"Dayita nggak mau dateng."
"Semua orang membenci Dayita."
Tidak bisa dihentikan, hatinya mengeras terhadap sentuhan lembut Allah yang selalu sedia menenangkan. Ia lebih memilih mendengarkan bujukan musuh sejati, ketimbang menepisnya.
Dayita menatap wajahnya yang berada di dalam cermin dengan penuh kebencian. Wajah penuh amarah, pipi basah dengan mata yang memerah, bibir tertutup kuat akibat gigi-gigi di dalamnya saling menekan. Segala pikiran buruk itu menjadi satu senjata kokoh penghancur jiwanya.
"Gua benci lo."
"Seharusnya mati aja, bukan?" tanyanya tanpa berharap kepada siapapun untuk menjawab. Bukan pertanyaan, kalimat itu adalah penekanan.
Penekanan yang juga ia lakukan pada tangannya saat itu. Gunting berwana biru tergenggam sangat erat tangan kanannya, dan tangan kirinya seolah sudah siap menerima siksaan.
Ujung gunting sudah berada di pergelangan tangan, titik di mana nadi berdenyut. Dayita menekannya kuat, tapi.
Tuk!
Tiba-tiba gunting itu terjatuh tepat di depan kakinya. Dayita menunduk dalam, menggenggam kain songketnya kuat-kuat.
"Nggak ...."
Tubuhnya luruh, isak tangis dan sesak di dada membuat fisiknya lemah. Bukan karena dua hal itu sebenarnya, tapi luka tak berbentuk di dalam sana lah yang berhasil membuat fisik bahkan mentalnya jatuh selemah-lemahnya.
Dayita tergugu pilu, tapi ia berupaya menahan suaranya agar tidak terdengar telinga lain, ia tak mau membagi lukanya, tak mau luka ini menyebar dan berimbas luka pula pada satu-satunya orang yang menyayanginya dengan penuh ketulusan.
Sekali pun mau berbagi luka, tak ada satu pun yang mau peduli, entah sahabat lamanya atau teman satu circle-nya, sama saja, karena jalan berbeda sudah dibangun semenjak mereka dipisahkan kelasnya
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA SENDU
Non-Fiction❝𝐒𝐨𝐬𝐨𝐤 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐦𝐮 𝐭𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐧𝐚. 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧, 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐤𝐮𝐭𝐚𝐡𝐮, 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮 𝐚𝐤𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐫𝐚𝐠𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮𝐦𝐮. 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐤...