Kata Ibu
****
"Dayita harus lanjut kuliah, ya, Nak."
Gerakan Dayita yang tengah merapikan piring bekas mereka makan siang, terhanti dan menatap sang ibu penuh tanya.
"Nggak usah, ya, Bu. Dayita belum punya penghasilan yang cukup," tolaknya lembut, kemudian Dayita melanjutkan pekerjaannya.
"Ibu siap membiayai. Nggak usah kamu ragukan lagi, kamu tamat SMA boleh hasil jerih payah Ibu." Tubuh Asy yang tengah duduk di kursi meja makan memutar agar dapat melihat anaknya yang tengah mencuci piring.
Sedangkan Dayita menghela nafas berat. "Tapi Ibu jadi kesulitan karena membiayai Dayita, terlilit hutang, dikejar rentenir, sampai hampir bunuh diri karena." Gadis berhijab instan berwarna hitam itu pun ikut berbalik. "Dayita nggak mau masa sulit itu terulang, biar kita fokus dulu lunasi semua hutang ibu, baru Dayita fikirkan mau lanjut atau nggak."
Kalimat Dayita membuat hati Asy sedih. "Mimpi Ibu adalah melihat kamu lulus membawa gelas, Nak," tuturnya dalam.
Dayita mengelap tangannya yang basah dengan kain khusus, lalu ia mendekati sang ibu dan berjongkok. "Nanti, ya, Bu. Day harap ibu bisa bersabar dulu untuk saat ini."
Asy menggeleng tak bisa dibujuk. "Ibu yakin hutang ibu akan segera lunas, sekarang saja sudah sebagian terlunasi, berkat kamu mengajar anak-anak di kampung ini, beban Ibu sudah lebih ringan, Nak." Tangannya mengelus pipi putrinya dengan gerakan penuh pujaan.
"Tapi harus lunas dulu, Bu," balas Dayita masih kukuh.
"Sembari Day kuliah,ya." Asy tak kalah kuat pendiriannya.
Lama Day menatap Ibunya agar hati wanita itu luluh dan mau mengalah, sayangnya ia kalah, Dayita yang luluh. Sekali lagi gadis berusia 19 tahun itu menghela nafas. "Baik, kalo itu yang Ibu mau, Dayita akan menuruti. Semoga Allah memberikan kita kemudahan, ya, Bu."
"In Shaa Allah. Dayita nggak perlu khawatir, Allah selalu bersama kita."
Dayita sanggup tersenyum mendengar kalimat menyejukkan itu. Ia akan berusaha menguatkan keyakinannya, bahwa Allah akan memberi jalan keluar untuk keputusan Asy yang menurut Dayita tidak semudah yang dibayangkan.
****
Satu minggu berlalu, Dayita mulai mempersiapkan berkas pendaftaran, Asy bilang ia sudah pegang uang pendaftarannya, sebenarnya hati Dayita merasa berat menuruti permintaan Asy yang satu ini, bagaimanapun dia belum siap, terlebih biaya yang dihasilkan Asy bersumber dari pinjaman lagi, membuat ia semakin berat untuk lanjut. Namun untuk menolak, sepertinya Dayita tak akan mampu karena setiap kali ia menyampaikan pendapat, pendirian Asy tak dapat digoyahkan.
"Saat kamu wisuda TK dulu, hati ibu sangat tersentuh ketika kamu memakai toga, dari situ impian ibu mulai terbangun menjulang tinggi, apapun akan ibu lakukan demi bisa melihat kamu di wisuda perguruan tinggi dengan membawa gelar. Tolong berjuang demi Ibu, ya, Nak. Percayalah, doa Ibu nggak akan pernah putus untukmu, selalu menyertaimu, selalu menerangi setiap langkahmu.
Kini, Dayita menarik nafas. Mungkin ini yang terbaik.
Awalnya Dayita memutuskan untuk ambil jurusan PGPAUD demi menyesuaikan pekerjaannya saat ini. Sayangnya, kepala sekolahnya lagi-lagi mempersulit berkas yang butuhkan dari lembaga sekolah tempat ia mengajar, wanita itu enggan memfasilitasi, membuat ia tidak bisa ambil jurusan itu karena kurangnya berkas pendaftaran.
Semenjak itu, Dayita berfikir keras, jurusan apa yang akan ia ambil yang sesuai dengan fashionnya dan kemampuannya. Pilihan kedua pun jatuh pada jurusan PendidikanBahasa dan Sastra Indonesia menyadari bahwa dirinya gemar menulis berbagai karya sastra, jurusan itulah yang menurutnya paling pas.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA SENDU
Non-Fiction❝𝐒𝐨𝐬𝐨𝐤 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐦𝐮 𝐭𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐧𝐚. 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧, 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐤𝐮𝐭𝐚𝐡𝐮, 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮 𝐚𝐤𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐫𝐚𝐠𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮𝐦𝐮. 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐤...