2020.1

6 4 0
                                    

Tanah Lapang Masih Menghimpit

***


"Cermin kaca benggala, siapa wanita tercantik di dunia ini?"

"Oh tentu saja, ular tanah, sang wanita penjilat kaki pria beruang."

"Hahaha."

Dayita mengecek sekali lagi pantulan dirinya di hadapan cermin, merapikan hijab berwarna creamnya. Belakangan ini ia suka mendongeng untuk dirinya sendiri, berlagak menjadi bawang putih, ibu tiri, bawang merah, dan sekarang sebagai penyihir dalam cerita putri salju. Kegemaran itu ia dapat setelah lomba bulan bahasa beberapa waktu lalu, saat sekolah masih tatap muka, sebelum hastag DiRumahAja menyebar di setiap sosmed dan dalam penjuru negeri seperti saat ini.

Covid datang menyerang, memaksa seluruh penduduk bumi diam di rumah dan melakukan aktifitas tak biasnya di mana memiliki keterbatasan dalam bergerak.

Membosankan, tapi melegakan. Meski hampir tidak bertemu teman, setidaknya tak ada sesak karena problematika yang dimiliki ibunya membaik. Ayah sambungnya telah kembali dengan sedikit bujukan yang sebenarnya melelahkan, dan rentenir tidak lagi berbondong-bondong menagih karena aktivitas mereka ditutup.

Dayita mendengar ucap syukur dari ibunya ketika pertama kali PPKM diumumkan. Dayita ikut mengucap syukur, akan fakta ibunya mendapat waktu untuk bernafas normal, Dayita bersyukur mendung di kepalanya dan di kepala ibunya perlahan terkikis mentari hangat di pagi hari. Kali ini saatnya untuk merehatkan jiwa sejenak, kemudian perlahan bangkit untuk memperbaiki yang masih bisa diperbaiki.

"Assalamualaikum! Teteh Day!"

Dan Allah memberikan banyak jalan pada setiap orang yang ingin bersungguh-sungguh dan menaruh yakin padaNya secara sempurna.

"Waalaikumussalam!"

Dayita keluar kamar, pemandangan pertama yang ia lihat ada ayah dan ibunya yang tengah berbincang hangat sambil menonton TV, perasaan Dayita menghangat berkat pemandangan itu, serta berkat terkabulnya beberapa do'a yang ia panjatkan. Salah satunya hubungan antara kedua orang tuanya yang jauh membaik.

"Hallo, adik-adik! Sini masuk!" Dayita meminta keenam anak yang tadi memberikan salam untuk menghampirinya dibarengi gerakan tangannya yang lembut.

Asy memungut remote dan menekan tombol merah di ujung kanan, setelah layar TV tak lagi nampak gambar, kemudian Asy tersenyum pada mereka sebagai pemberian izin yang sama seperti Dayita, setelah menangkap kesungkanan di wajah-wajah polos itu.

"Masuk aja sini, nggak usah takut," titah Asy berhasil menghilangkan keraguan yang sebelumnya tercipta.

Satu persatu dari mereka masuk, mencium punggung tangan Dayita yang gadis berkacamata itu respon dengan senyuman dan elusan lembut di kepala, lalu bergilir mencium tangan Asy, terakhir meski takut-takut juga mencium punggung tangan Satya, suami Asy.

"Mau pada belajar, ya?" Satya bertanya, sayangnya tak ada tanda-tanda akan dijawab. Pria berkumis tebal yang hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih, tertawa geli. "Pada takut sama Bapak?"

"Iya." Jawaban itu tercetus dari anak laki-laki berusia sekitar sembilan tahun yang mengenakan kaos merah bersablon mobil balap.

Satya tertawa lagi, kini diikuti tawa Asy dan Dayita.

"Nggak boleh takut, Bapak Teteh, mah, nggak galak, kok," balas Dayita meyakinkan.

"Iya, cuma kumisnya aja yang gede, orangnya, mah, suka becanda," tambah Asy agar anak-anak bertambah yakin.

Usaha Dayita dan Asy berhasil, anak-anak yang berjejer di ruangan itu mulai berani menatap Satya. Walaupun masih terpatah-patah.

"Bener itu! Bapak, mah, baik, nggak makan orang. Paling kalo nakal tinggal dijewer, terus dianter le orang tuanya."

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang