2018.3

30 20 50
                                    

Pembawa Ceria

***

Kotak makan biru, botol minum biru, almamater biru, jika diperbolehkan memakai sepatu selain warna hitam, Dayita juga akan memakai sepatu biru. Gadis itu gila akan warna biru.

Pagi buta Dayita sudah sibuk mengumpulkan barang-barang yang diperlukan untuk ia bawa ke sekolah. Pertanyaan, apa saja yang ia lakukan di malam hari sampai tidak sempat menyiapkan keperluannya? Jawabannya bukan karena gadis itu belajar keras hingga larut malam, tapi biasanya memuja-muja ketampanan biasnya bersama teman online lewat layar handphone. Sungguh menyedihkan untuk gadis yang memiliki mimpi setinggi langit.

Mimpi elit dengan semangat belajar yang sulit.

Pagi Senin akan selalu berkaitan dengan upacara, gadis itu tergesa dalam memasuki setiap barang yang sudah terkumpul. Barang bawaannya cukup banyak, sehingga ia memerlukan satu totebag untuk membantu tas ranselnya membawa beban. Terjawab sudah atas pertanyaan yang tak pernah terucap pada Tamara mengapa gadis itu membawa tas dengan ukuran yang sangat besar, rupanya gadis itu memiliki pandangan Yang bagus mengenai masa depan, sehingga dia tak akan kerepotan menghadapi kewajibannya membawa segala barang yang diperlukan.

Kalau begitu, kenapa sekolah tidak menyediakan loker untuk para siswa? Huft!

"Ibu, nggak usah siapin sarapan buat Dayita, Dayita hari ini upacara, jadi harus cepet-cepet sampai sekolah." Dayita keluar kamarnya dengan tas ransel yang sudah menggantung di punggungnya, tangan kanan yang sibuk memegang totebag, serta tangan kiri yang membawa sepatu.

Gadis itu meletakkan totebagnya di atas meja dan duduk di kursi tunggal, sepatu yang ia letakkan di bawah mulai ia gunakan. Kepalanya menoleh kanan-kiri mencari keberadaan ibunya, di mana sosok wanita penyayang itu? Ucapan Dayita sebelumnya pun tak ada jawaban, rumahnya terasa sunyi, hanya denting jam yang memenuhi.

"Sudah siapa, Day?"

Tiba-tiba Asy datang bersama suara pintu yang terbuka. Hijab yang dikenakan ibunya berhasil membuat ia melipat dahinya.

"Ibu habis dari mana?" tanya Dayita menyuarakan kebingungannya.

"Dari rumah Bunda, pinjem motor, kan, mau nganterin kamu," jawab Asy penuh perhatian.

"Ya Allah ibu, maafin Dayita, ya, yang ngerepotin."

Asy tersenyum lembut dan menggeleng tangannya bekerja mengambil sesuatu dari dalam lemari makan. "Emangnya kamu siapanya ibu, sih, Day? Sampai pake bahasa ngerepotin." Berhasil menemukan yang ia cari, Asy berbalik dan duduk di bangku samping Dayita.

"Day anak ibu," rengek Dayita tidak bisa membiarkan ibunya bertanya seperti itu, Dayita hanya merasa ia membebani ibunya terlalu sering, tak bisa apa-apa, membawa motor tak bisa, berinteraksi dengan orang lain sulit, pemalu, pendiam. Dayita kehilangan kepercayaan dirinya telah lama, sehingga sedikit saja seseorang repot karena dirinya, Dayita akan merasa betapa tidak bergunanya dirinya.

"Kalo gitu jangan pake bahasa ngerepotin, Day, kan, anak satu-satunya Ibu, jadi sudah sepantasnya Ibu mencurahkan kasih sayang Ibu cuma sama Day. Nih." Asy menyodorkan roti cokelat pada Dayita, Dayita menerimanya dengan rasa menahan tangis. Kesedihan karena hal sepele seperti itu sering terjadi, buah dari pemikiran rumit dari hal yang sebenarnya sederhana.

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang