2021.3

5 3 0
                                    

"Kupu-kupu, aku mau mengadu, lagi-lagi aku jatuh rindu."

****

"Ayah sudah nggak ada." 

Runtuh, bukan sebatas dentuman kuat, namun badai besar telah meliputi tubuh, jiwa, hati serta waktu yang dimiliki Dayita.

Usai memberitahu anaknya, Asy tergugu pilu, tidak histeris, namun suara tangisnya seakan-akaan menumpahkan seluruh luka yang sebelumnya berkumpul di segumpal daging yang terletak di dalam dada.

Kekuatan tubuh yang selama ini mampu mengangkat beban paling berat, luruh di hadapan Dayita yang enggan memahami maksud ibunya. Dari atas Dayita menatap kepala ibunya yang menunduk pilu, tidak ada air mata dipipi Dayita, ia bungkam, terpaku, namun perasaannya sudah tak dapat dijelaskan seberapa rumitnya.

Perlahan tangan Asy memeluk perut Dayita, ia butuh pelukan, butuh tempat untuk menumpahkan seluruh lukanya. Hanya Dayita harapannya, buah hatinya yang selalu menjadi pelipur lara selama ini, saat ini pun masih begitu walaupun belum dapat ia rasakan.

Azan Isya berkumandang, bersamaan dengan itu rintik hujan terdengar, lama-kelamaan menjelma deras. Seakan memahami bagaimana derasnya rasa sedih Asy dan Dayita, ribuan rintik memeluk tubuh mereka dengan kesejukan yang bersumber dari cinta Tuhan.


Dayita sudah berhambur dalam pelukan Asy, kini tubuhnya tenggelam dalam dekapan sang ibu, dia yang meraung, sedangkan tangis Asy masih tertahan. Pelukan itu tak lepas, meski langkah mereka harus mengunjungi tempat-tempat yang menjadi taburan garam di atas luka, tempat tumpahnya darah sosok istimewa, rumah duka penuh duri, tanpa perhatian sedikitpun dari orang-orang terdekat, di mana Dayita dan Asy yang terabaikan dan terlupakan bahwa mereka juga tengah berdukan, dan tempat peristirahatan terakhir , seakan-akan pelukan mereka akan abadi, karena hanya itu yang mampu membuat mereka bertahan.

"Di mana para keluarga almarhum?" tanya seorang Ustadz ketika jenazah Rahman akan dimakamkan.

"Di sini," jawab wanita paruh baya berpindah tempat dengan sedikit mendorong Asy yang masih mendekap erat Dayita. Wanita itu sengaja menutupi tubuh Asy, memanggil adik-adiknya yang usianya jauh lebih tua dari Asy.

"Yang lainnya?" Ustadz tersebut bertanya lagi sembari mengedarkan pandangan ke tempat Asy.

Namun, Mae menjawab dengan lantang. "Hanya kami!" Tidak ingin ada lagi pertnyaan, tidak ingin memberi ruang dan kesempatan untuk dua orang yang seharusnya sangat berhak dianggap.

Dua orang yang sesungguhnya merupakan sumbeh kebahagiaan Rahman, dua orang yang masih saling mendekap, dua orang yang menangis tanpa ada yang peduli akan perasaan mereka, dua orang yang saling menguatkan, dua orang yang dalam hatinya berharap diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu dengan Rahman yang sudah tidak bernyawa.

Dayita mendongak, membaca raut wajah ibunya, mencoba memehaminya. Kecewa, terluka. Ibunya sedang kecewa dan terluka. Apa yang bisa ia lakukan? Bagaimana cara menghapus jejak air mata yang kian detik kian deras kian membanjiri pipi tirusnya?

"Ayah!" Tak tertahankan lagi jeritan itu menggema di tanah pemakan, bibir yang membisu kini meraung-raung demi mengekspresikan sakit yang tidak bisa dipendam lagi.

"HIKS!"

Dayita terbangun dari tidurnya. Namun tubuhnya masih terbaring lemah menatap langit-langit kamarnya sambil memengangi dadanya kuat. Sesak seakan mengunci saluran pernapasannya sehingga tak mampu menerima oksigen dengan benar, air matanya pun merembes sangat deras.

Tidak bisa dibiarkan, Dayita memaksakan diri untuk bangkit, ia duduk menghadap cermin yang menyatu di pintu lemari, berusaha menetralkan deru napasnya, gadis itu beristighfar berulang kali dengan wajah pucat.

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang