2021.2

7 4 0
                                    

Sihir Rudita

***

Damai. Di sisi perapian depan rumah gubuk, tubuh kecil berlari-lari memutari unggun. Sepasang suami istri menatapnya penuh cinta, tersenyum bahagia di tengah gulita. Seluruh lampu padam, pemadaman serentak terjadi sejak sore. Malam menjadi sangat sunyi, hanya suara jangkrik dan tawa satu keluarga yang menghiasi atmosfer.

"Dayita, hati-hati, Nak." Suara penuh perhatian itu sampai ke telinga Dayita, tangannya yang semula ingin menyentuh api urung dan memilih menyabut rumput untuk dibakarnya.

"Jangan main api, ke sini, duduk di samping Ayah." Sosok lelaki dengan rambut yang hampir memutih semua, menepuk ruang yang ia duduki. Dayita lagi-lagi menuruti, ia menghamiri Ayahnya dan duduk di batang pohon bersama. 

Rahman tersenyum, tangannya gemas mengelus rambut anak semata wayangnya penuh kelembutan, kemudia ia merapikan sarung yang ia memberikan sarung yang ia pakai untuk menutupi tubuh Dayita agar tidak kedinginan dan membiarkan kakinya tersentuh udara dingin karena hanya menggunakan celana pendek.

Melihat itu, Asy bergegas masuk ke dalam. "Sebentar, ya, ibu buatkan teh dan ambil satu kain lagi."

"Terimakasih, Ibu," ucap riang Dayita dan Rahman.

Setelah Asy pergi, Dayita terdiam. Rahman merasa aneh, karena sikap Dayita tidak seperti biasa, anaknya itu selalu banyak tanya kepadanya, mengenai asal-usulnya, ingin diajarkan bahasa cina, ingin diceritakan bagaimana dia masuk islam, ingin diajarkan menulis bagus, ingin diajarkan menggambar, ingin tahu cara meracik jamu, ingin bisa berkebun, ingin bisa membuat kotak obat sepuluh susun dan sebagainya. Tapi kini dia malah diam dan merenung.

"Hallo, ada apa dengan anak ayah? Kenapa wajahnya murung, hm?" Rahman merangkul dan menyandarkan kepalanya di pucuk kepala dayita, ia mencoba menghibur anaknya dengan cara menoel-noel pipi bulat Dayita.

Rahman merasa baru pertama kali menjadi seorang ayah saat bersama anak bungsunya, padahal dari pernikahan sebelumnya dia sudah dikaruniai tujuh anak. Tapi, menurut hatinya, Dayita itu berbeda, putri kecilnya yang satu ini menjadi kesayangannya, kebanggannya, pelipur laranya, pengobat lukanya, penyemangatnya, dan alasannya ingin panjang umur, sampai lupa bahwa usianya sudah renta.

"Kenapa Teh Ais, Teh Mai, Teh Sarah, Teh Romi, Teh Wati, Kang Usman, Kang Doni dan A Bariq seperti nggak suka sama Dayita?" tanya anak dengan rambut yang dikuncir kuda itu dengan lesu sambil menatap api unggun yang hampir padam, galau dengan semua sikap kakak satu ayahnya yang tidak memperlakukannya hangat bila bertemu.

"Kata siapa mereka tidak suka?"

"Seperti, Ayah. Berarti Dayita yang merasakan sendiri, bukan kata orang," tekan Dayita.

Rahman terkekeh geli. "Mereka suka, kok, sama Dayita, hanya saja Dayita jarang bertemu mereka, jadi nggak akrab, besok kita ke sana lagi, ya, biar Dayita akrab sama mereka."

"Nggak mau! Nanti Ayah kena marah lagi."

"Loh, kapan Ayah kena marah."

"Kemarin aku dengar sendiri, bukan kata siapa-siapa ya. Dayita juga dengar, mereka itu membenci ibu."

Rahman menggeleng cepat. "Nggak sayang, Dayita hanya salah dengar, mereka itu sayang sama Dayita dan juga ibu."

"Tapi kenapa mereka nggak menghormati ibu?"

"Nggak menghormati bagaimana?"

"Mereka selalu memanggil ibu dengan namanya, nggak pake ibu seperti Dayita."

Rahman terdiam, itu fakta, dan ucapan Dayita yang sebelumnya pun juga fakta. Ia tidak dapat lagi menjawab, Dayita paham dengan respon ayahnya, ia mulai memahami apa yang terjadi, keberadaannya dan Asy dianggap salah dan dosa, padahal mereka tak merebut apapun. Anak kecil itu menghela nafas, tangannya memeluk tubuhnya sendiri, raut wajahnya yang sedih mendongak untuk menatap langit.

"Ayah, langit luas banget, ya."

Rahman yang sebelumnya diliputi rasa bersalah ikut mendongak. "Nanti, Ayah tinggal di sana," ucap Rahman tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Biar kasurnya luas buat Dayita dan ibu, biar Ayah nggak kena marah lagi sama Kakang dan Teteh Dayita, dan biar Ayah bisa minta kebahagiaan langsung sama Allah buat Dayita dan ibu."

Rupanya ada Asy berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi tiga gelas teh dan kain yang tersampir di bahu. Ia mendengar semuanya, menatap Rahman tak percaya, perasaannya tak nyaman, ada bayang-bayang yang ia dapatkan dari arti ucapan itu.

Semua itu hanyalah bayang-bayang masa lalu yang teringat lagi oleh si pemilik jiwa sendu, tokoh kecil anak Rahman dan Asy yang kini sudah dewasa. Hangat unggunnya masih terasa, harum pohon yang dibawa angin juga masih terasa, hingga kini, malam itu adalah malam dingin berisi jawaban atas ucapan ayahnya.

Besok malamnya kabar kematian sampai ke telinga Dayita dan ibunya. Ayahnya pergi meninggalkan luka tak berujung. Gerimis membasahi jalan bekas darah Rahman yang telah disirami air, Dayita mengingat bagaimana wajah kecilnya dulu dibanjiri air mata penyesalan di dalam pelukan Asy, ia meminta dalam hati agar ayahnya dikembalikan, Dayita ingin minta maaf atas bentakannya di sore itu.

Sayangnya, Dayita harus mengingat kata terlambat. Tak ada kesempatan lagi untuk urusan yang belum selesai, namun telah diputus kematian.

Kamar Dayita berubah mencekam. Pengap dan gelap. Segala ketakutan muncul satu-persatu. Di saat ia harus berkembang, namun jiwanya hancur mendekam dalam penjara tak kasat mata.

Dayita merebahkan tubuhnya di antara kertas-kertas berisi coretan surat lamaran kerja, ia menutup matanya dengan pergelangan tangan, air mata terlihat keluar di sela-selanya. Ia merasakan takut yang amat menyiksa, membayangkan kehidupan masa laluya yang tidak baik-baik saja. Padahal sudah berlalu, tapi sensasinya harus ia rasa sampai di hari ini.

Tamara.

Ia sangat ingin bercerita dengan sahabatnya itu, tapi sayang seribu sayang, Tamara sudah banyak berubah. Tamara manis, sudah menjadi sosok pembawa kabut hitam. Hubungan mereka tidak lagi baik-baik saja, ia tidak lagi mempercayai Dayita. Dayita dianggapnya berlebihan, tidak logis dan ia menjauhinya.

Dayita sebenarnya sangat merindukannya, sikapnya yang dulu, cerita-ceritanya, responnya saat mendengarkan cerita. Tidak ada lagi, harapannya bersinar, namun hasus dipadamkan. Mereka semua sama, senang meninggalkan, mudah membiarkannya sendiri.

Itu berarti Dayita tidak bermakna, bukan?

Salah. Pemikiran itu salah, keberadaannya di dunia tentu saja memiliki arti meski kecil. Namun, Dayita tidak meyakini itu, pandangannya tengah terbenam dalam ruang gulita yang mencari lentera. Baik siang dan malam, ia tetap menangisi kekacauan pikirannya yang tidak berdasar murni. Ada rasa berharap untuk meminta petunjuk bersama lentera, namun kecil dia genggam.

Rudita.

Satu-satunya nama yang menjadi kunang-kunang penerang jalannya yang temaram, Dayita senang mengenang nama itu, nama yang menyejukkan sedikit bagian hatinya yang panas akan keinginan yang tak terealisasikan. Kalian tahu keajaiban nama itu? Nama itu mampu mencairkan bekunya hat Dayita, mampu menyingkirkan bebannya yang menumpuk di dada.


Tidak percaya?

Ragu?

Terasa tidak logis?

Tentu, kalian bukan Dayita, gadis yang percaya dengan sihir milik Rudita yang mampu mencuri cahaya bulan dari matanya.

Logisnya Dayita tidak lagi bertemu dengan Dayita, lantas cinta itu luntur?

Oh, berarti kalian belum paham kekuatan mengagumi dengan menggunakan bagian hati paling dalam.

Tersenyum, Dayita mampu tersenyum. Dia menggila, hanya karena nama Rudita yang lewat di pikirannya tanpa permisi, ia mampu bangkit dari keterpurukan masa lalu dan lanjut menulis surat lamaran kerja dan siap melayangkannya ke beberapa perusahaan tujuan.

Inilah sihir Rudita, tak menantang, namun mengejutkan.

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang